Rabu, 26 November 2008

Good News: DKI Jakarta tak ada lagi Sertifikat Ganda


10 November lalu Kompas.com menurunkan artikel berjudul BPN DKI Jamin Tak Ada Lagi Sertifikat Ganda. Hal ini menunjukkan komitmen Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam melindungi hak-hak warganya dalam memiliki tanah. Dalam hal ini BPN Kanwil Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta telah menyiapkan peta tunggal yang mencakup seluruh wilayah Jakarta. Dengan demikian di masa datang sertifikat ganda dapat tidak akan terjadi lagi.

Apakah itu peta tunggal? Berbeda dengan wilayah lain yang tidak memiliki peta, DKI justru sebaliknya. Mengingat wilayah tersebut merupakan daerah prioritas maka Pemerintah DKI beberapa kali membuat peta. Hal ini dilakukan mengingat pertumbuhan kota nya yang cepat sehingga perlu dilakukan updating. Dengan demikian di wilayah tersebut terdapat peta dengan berbagai edisi tahun.
Sayangnya updating peta yang dilakukan tidak diikuti dengan updating data tanah yang bersertifikat. Dengan demikian pada peta dengan edisi yang lebih baru tidak ada data tentang tanah yang telah bersertifikat sebelumnya. Padahal bidang tanah tersebut telah tergambar pada peta edisi sebelumnya. Dalam kasus tersebut, jika terjadi pendaftaran baru petugas akan memetakan pada peta edisi terakhir dimana belum ada tanah bersertifikat di peta tersebut. Hal ini lah yang menjadi potensi terbitnya sertifikat ganda.
Oleh karena itu, seperti kita baca pada tulisan kompas.com diatas, saat ini BPN DKI telah berhasil menggabungkan peta-peta yang terdiri dari bermacam-macam edisi menjadi peta yang tunggal. Peta ini telah menggabungkan seluruh bidang tanah bersertifikat yang telah dipetakan sebelumnya ke dalam peta edisi terakhir. Suatu upaya yang besar dan patut diapresiasi setinggi-tingginya. Ke depan, masyarakat yang mendaftar tanahnya akan terlindungi dari potensi sertifikat ganda.
Untuk lebih membantu semakin amannya bidang tanah di DKI dari kemungkinan sertifikat ganda, peran serta masyarakat masih diperlukan. Setiap pemilik sertifikat, terutama yang terbit pada masa lebih dari 10 tahun lampau, agar tetap melakukan pengecekan ke kantor BPN setempat.
Hal ini perlu dilakukan terkait dengan 2 hal. Yang pertama adalah proses penyatuan peta tunggal merupakan proses yang dilakukan melalui konversi peta menjadi peta digital dan melakukan transformasi peta ke dalam sistem proyeksi peta edisi terakhir. Dalam setiap proses konversi dan transformasi kemungkinan ditemui beberapa kesalahan kecil. Hal ini merupakan konsekuensi wajar dari proses tersebut.
Hal yang kedua adalah untuk bidang-bidang tanah yang sertifikatnya lahir pada saat peta belum tersedia di DKI. Tanah tersebut praktis belum dipetakan di BPN. Kasus ini seperti ini tidak dapat diatasi dengan proses pembuatan peta tunggal secanggih apapun. Solusi untuk kasus ini adalah proses yang disebut dengan graphical index mapping.
Dengan kedua alasan diatas, masyarakat pemilik sertifikat agar membantu upaya yang dilakukan BPN dengan cara menghubungi kantor BPN setempat untuk (1) memastikan bahwa tanahnya telah dipetakan dan (2) memastikan bahwa tanahnya telah dipetakan pada posisi yang benar setelah proses konversi dan transformasi dalam membuat peta tunggal.
Selengkapnya..

Rabu, 19 November 2008

Bagaimana sertifikat tanah ganda dapat terjadi?

Sertifikat ganda adalah kejadian dimana sebidang tanah memiliki 2 (dua) sertifikat tanah yang dimiliki oleh 2 (dua) orang yang berbeda.
Secara prinsip setiap bidang tanah memiliki posisi yang tunggal di belahan bumi ini. Tidak ada 2 (dua) bidang tanah yang memiliki posisi yang sama. Dengan demikian setiap bidang tanah yang telah bersertifikat atau terdaftar di Badan Pertanahan Nasional (BPN) seharusnya mendapat perlindungan terhadap pendaftaran yang sama atas bidang tanah tersebut.
Perlindungan diatas dapat diberikan jika setiap sertifikat atas tanah yang terbit diketahui dengan pasti letak atau lokasinya di muka bumi. Dengan demikian setiap usaha untuk mensertifikatkan tanah yang sama dapat segera diketahui dan dicegah oleh BPN. Namun demikian seperti saya jelaskan pada posting terdahulu mengenai “Mengapa ada tanah bersertifikat yang tidak diketahui letaknya”, masih ada tanah bersertifikat yang tidak diketahui lokasinya yang disebabkan oleh ketidaktersediaan peta. Padahal peta adalah informasi yang menggambarkan letak seluruh bidang tanah di permukaan bumi.
Jika sebuah sertifikat yang diterbitkan tidak dipetakan dalam sebuah peta akibat tidak adanya sarana pada saat itu, maka bidang tanah itu memiliki potensi untuk lahir sertifikat ganda. Dalam hal seseorang dengan bukti-bukti tanah yang meyakinkan meminta pembuatan sertifikat di BPN, maka tidak ada tools yang kuat untuk mencegah lahirnya sertifikat ganda.
Ilustrasinya sebagai berikut: Petugas BPN akan meneliti data fisik bidang tanah yang diminta untuk kedua kalinya tersebut dengan melakukan pengukuran bidang tanah. Pada saat pengukuran, petugas akan meminta pemohon sertifikat untuk menunjukkan batas-batas bidang tanahnya. Akan lebih baik jika diketahui dan dikonfirmasi oleh pemilik tanah yang bersebelahan. Pada poin ini pembuatan sertiffikat ganda akan tersandung jika pemegang sertifikat tanah menempati tanah tersebut. Sebaliknya jika tanah tersebut tidak ditempati atau diterlantarkan maka praktek ini akan lebih mulus melaju tanpa terdeteksi.
Langkah kedua adalah petugas melakukan pemetaan hasil pengukuran ke dalam peta. Setelah posisi bidang tanah hasil ukuran dapat diketahui letaknya, petugas akan mengecek apakah pada posisi yang sama telah diterbitkan sertifikat hak atas tanahnya. Jika ternyata ada, petugas akan memblokir kegiatan penerbitan sertifikat baru yang disinyalir ganda. Sayangnya jika bidang tanah bersertifikat terdahulu belum dipetakan, petugas akan mengatakan bahwa pada posisi tersebut adalah posisi bebas. Jika ini yang terjadi proses ini akan terus berlanjut hingga penelitian data yuridis termasuk pengumuman terhadap publik bahwa akan diterbitkan sertifikat atas tanah tersebut.
Jika sekali lagi hasil penelitian data yuridis menunjukkan bahwa tidak ada masalah dan tidak claim dari masyarakat (termasuk pemegang sertifikat terdahulu), maka BPN akan menerbitkan sertifikat tanah (lagi) atas bidang tanah yang sama. Terjadilah sertifikat ganda atau tumpang tindih atau overlap yang tidak disadari oleh pemegang sertifikat pertama, BPN dan (kadang-kadang) pemegang sertifikat kedua.
Bagaimana upaya kita selaku pemegang sertifikat tanah agar tidak timbul sertifikat ganda. Yang Pertama adalah berupaya menggunakan tanah yang kita miliki. Jika tidak untuk ditinggali, maka pastikan digunakan untuk kebutuhan lain atau sekurang-kurangnya dilindungi dalam bentuk pagar keliling.
Hal yang kedua adalah bagi para pemegang sertifikat tanah yang penerbitannya sebelum 1997 agar datang ke BPN untuk memastikan bahwa bidang tanah yang tertera di sertifikat telah dimasukkan ke dalam peta pendaftaran BPN. Jika ternyata bidang tanah tersebut belum masuk ke dalam peta BPN, mintalah petugas ukur BPN untuk datang ke lokasi bidang tanah dimaksud untuk melakukan pemetaan atau yang secara teknis disebut Graphical Index Mapping (GIM)
Selengkapnya..

Senin, 17 November 2008

Standar Penilaian Tanah Untuk Pemberian Ganti Rugi: Sarana untuk mempercepat pengadaan tanah melalui penilaian ganti rugi yang lebih adil dan transpar


1 Current Practice

1.1 Pemberian ganti rugi bagi kepentingan umum seringkali menjadi masalah berlarut-larut sehingga menyebabkan tertundanya pembangunan. Dapat dibayangkan besarnya kerugian dari pemerintah maupun masyarakat akibat bertahun-tahun tertundanya Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta yang menghubungkan Jalan Tol Jagorawi dan Jalan Tol Jakarta-Cikampek. Berapa pula kerugian yang diderita masyarakat akibat banjir yang melanda sebagian wilayah Jakarta karena pembangunan Banjir Kanal Timur hingga saat ini belum dapat direalisasikan akibat pengadaan tanah yang tersendat. Pemberian ganti rugi yang dirasa tidak adil dan tidak memiliki standar yang baku setidaknya memberikan kontribusi bagi permasalahan diatas. Akibatnya muncul anekdot bahwa ganti rugi dalam pengadaan tanah adalah kompensasi yang menyebabkan pemilik tanah menderita kerugian akibat kompensasi yang diberikan lebih kecil dibanding kerugian ekonomis yang ditanggung oleh pemilik tanah.

1.2 Standar kita saat ini yang mengatur tentang penilaian tanah masih sangat minimal. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 jo 65 Tahun 2006 menegaskan bahwa ”Dasar perhitungan besarnya ganti rugi (atas nilai tanah) didasarkan atas Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh panitia; Tidak dijelaskan apakah nilai nyata/sebenarnya itu. Apakah itu nilai pasar? Bagaimana memperolehnya sehingga Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah dapat melaksanakan dengan standar yang sama juga tidak dijelaskan.

1.3 Namun demikian saat ini sudah diatur lebih lanjut pada Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2007 bahwa untuk menentukan nilai nyata/sebenarnya dapat berpedoman pada variabel-variabel seperti lokasi dan letak tanah, status tanah, peruntukan tanah, kesesuai penggnaan tanah dengan rencana tata ruang wilayah atau perencaan ruang wilayah atau kota yang telah ada; sarana dan prasarana yang tersedia dan faktor lainnya yang mempengaruhi harga tanah. Jika kita kaitkan variabel untuk menentukan nilai nyata/sebenarnya tersebut dengan teori yang ada, maka dapat disetarakan bahwa yang dimaksud dengan nilai nyata/sebenarnya adalah nilai pasar.

1.4 Diluar hal tersebut dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 jo 65 Tahun 2006 Pasal 1 butir 11 didefinisikan bahwa ganti rugiadalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan/atau nonfisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah. Ada dua hal yang menarik disini, yang pertama adalah diperkenalkan ganti rugi yang bersifat non-fisik. Namun sayangnya dalam penjelasan dan pasal-pasal berikutnya tidak di deskripsikan lebih lanjut mengenai ganti rugi non-fisik. Apakah ganti rugi non-fisik hanya meliputi kerugian yang bersifat ekonomi baik berupa biaya-biaya yang harus dikeluarkan dan kehilangan pendapatan dari pemilik tanah karena adanya pengadaan tanah? Ataukah juga meliputi kehilangan atau kerugian lain yang bersifat emosionil seperti hubungan sejarah atau hubungan kekeluargaan dengan tanah? Seberapa jauh ruang lingkup dari ganti rugi non-fisik dan seberapa besar ganti rugi yang diberikan harus diatur dalam standar yang jelas sehingga Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah dapat memiliki referensi yang sama dalam melakukan penilaian.

1.5 Hal yang kedua adalah statement bahwa ganti rugi seyogyanya dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkah kehidupan sosial ekonomi sebelumnya. Hal ini adalah statement yang mulia, bahkan lebih mulia dibanding statement negara-negara maju tentang konsep kompensasi. Di Swedia dalam Expropriation Act nya menjelaskan bahwa Prinsip utama pemberian kompensasi adalah posisi ekonomi yang sama dalam keadaan seolah-olah pengadaan tanah tidak pernah terjadi. Meskipun pada umumnya pada prakteknya pada saat negosiasi sering terjadi bahwa kompensasi yang diberikan sedikit lebih tinggi hal itu dikarenakan untuk menghindari waktu pengadaan yang lama dan menghindari biaya litigasi di pengadilan yang cukup tinggi. Bagaimana kelangsungan hidup yang lebih baik diterapkan dalam pemberian ganti rugi adalah tantangan yang harus dijawab, sekurang-kurangnya dalam sebuah standar penilaian ganti rugi.

1.6 Hal ini sekaligus untuk menjawab tuntutan dalam Peraturan Ka BPN 3/2007 yang baru terbit bahwa untuk menjadi Lembaga Penilai harga Tanah diperlukan lisensi oleh BPN. Dengan adanya standar penilaian yang baku dan transparan akan membuat Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang akan melaksanakan penilaian tanah tersebut dapat selalu menjaga keseragaman, keobyektifitasan dan kemandirian.

2 Telaahan

2.1 Penilaian Ganti Rugi Fisik

2.1.1 Nilai Fisik

2.1.1.1 Nilai fisik disini dalam ruang lingkup tulisan ini adalah Nilai dari fisik tanah. Kita mulai disini dengan membahas pasal 15 Perpres 65/2006 tentang definisi dari nilai nyata/sebenarnya. Apakah nilai nyata/sebenarnya itu? Nilai nyata/sebenarnya disini mungkin dimaksudkan sebagai harga yang nyata atau sebenarnya dari transaksi yang pernah terjadi terhadap bidang tanah yang terkena pengadaan tanah atau bidang tanah lain di sekitar bidang tanah tersebut.

2.1.1.2 Dalam banyak hal ini nilai nyata/sebenarnya itu dapat diduga dengan mudah sebagai nilai pasar. Nilai Pasar dalam Standar yang dikeluarkan baik oleh International Valuation Standar maupun Standar Penilaian Indonesia menyebutkan bahwa Nilai Pasar adalah estimasi sejumlah uang pada tanggal, yang dapat diperoleh dari transaksi jual beli atau penukaran suatu properti, antara pembeli yang berniat membeli dan penjual yang berniat menjual, dalam suatu transaksi bebas ikatan, yang pemasarannya dilakukan secara terbuka dan layak, dimana kedua belah pihak masing-masing bertindak atas dasar pemahaman yang dimilikinya, kehati-hatian, dan tanpa paksaan;

2.1.1.3 Didalam standar tersebut pula dijelaskan bahwa Nilai Pasar wajib menggunakan prinsip highest and best use. Dimana nilai pasar diturunkan dari penggunaan tertinggi dan terbaik dari sebidang tanah dengan memperhatikan 4 (empat) asas, yaitu: sebagai penggunaan yang dimungkinkan secara fisik, diijinkan secara hukum, layak secara finansial, dan menghasilkan pendapatan paling tinggi; Kempat hal tersebut dalam kondisi pasar yang transparan dan efisien akan direfleksikan di dalam nilai pasar yang diperoleh dari harga nyata/sebenarnya terhadap transaksi yang terjadi. Namun demikian perlu dicermati bahwa kondisi highest and best use setelah terjadinya pembangunan untuk kepentingan umum kemungkinan berbeda dibanding dengan kondisi sebelumnya. Dalam hal ini perlu adanya standar apakah perhitungan untuk memperoleh nilai pasar didasarkan pada kondisi highest and best use sebelum atau setelah pengadaan tanah.

2.1.1.4 Dalam beberapa pengalaman dari beberapa negara, terdapat kesamaan konsep utama dalam pemberian ganti rugi dalam pengadaan tanah. Konsep tersebut adalah setiap pihak yang terkena pengadaan tanah haruslah memiliki posisi ekonomi yang sama dengan sebelum terkena pengadaan tanah. Hal ini merupakan konsep yang cukup adil mengingat jika kondisi penggunaan setelahnya menjadi lebih buruk akan merugikan bagi penerima ganti rugi dan sebaliknya jika kondisi penggunaan setelahnya lebih baik pemerintah atau pemberi ganti rugi akan dirugikan. Jika konsep ini akan diterapkan, berarti penilaian tanah didasarkan atas kondisi seolah-olah tidak terjadi pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Atau dengan kata lain, penerapan highest and best use didasarkan pada kondisi sebelum ditetapkannya daerah tersebut sebagai daerah yang terkena pembangunan. Dengan ditetapkannya standar tersebut akan memudahkan bagi lembaga/tim penilai harga tanah dalam menentukan dasar yang digunakan dalam penilaian tanah.

2.1.2 Nilai Fisik yang terkena sebagian

2.1.2.1 Dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum sangat sering dijumpai bahwa tanah yang terkena oleh proyek pembangunan hanya merupakan sebagian dari bidang tanah yang bersangkutan. Akan tidak menjadi masalah jika pelaksana pembangunan memiliki dana yang cukup untuk mengadakan seluruh bagian dari sebidang tanah yang mungkin tidak diperlukan. Namun demikian faktanya adalah pelaksana pembangunan seringkali hanya memerlukan tanah yang diperlukan. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan tanah sisa akibat pengadaan tanah. Semua berharap bahwa tanah sisa tersebut masih optimal untuk digunakan sesuai dengan peruntukannya. Namun seringkali tanah sisa tersebut memiliki bentuk, akses, letak, luas dan hal lain yang menjadikan tanah tersebut tidak optimal untuk digunakan. Tentu saja keadaan tersebut akan berdampak dengan turunnya nilai pasar tanah sisa setelah pembangunan.

2.1.2.2 Untuk itu perlu diatur standar bagaimana melakukan penilaian ganti rugi terhadap tanah yang hanya terkena sebagian dalam pengadaan tanah. Dalam hal ini penilaian difokuskan pada berapa nilai kerugian yang diderita oleh pemilik tanah akibat penurunan kemampuan optimal penggunaan tanah sisa akibat terpotong oleh pengadaan tanah. Terdapat beberapa metoda dalam penilaian kerugian akibat tanah sisa tersebut, namun secara umum besarnya kerugian dapat diperoleh dengan mengurangkan nilai pasar tanah sisa sebelum pengadaan tanah dengan nilai pasar tanah dalam kondisi highest and best use setelah pembangunan. Jika hasil pengurangannya adalah bilangan positif berarti terdapat kerugian yang diderita oleh pemilik suatu bidang tanah.

2.1.2.3 Namun demikian terdapat permasalahan lain yang harus juga dijawab. Bagaimana jika nilai tanah sisa setelah pembangunan lebih tinggi dibanding nilai tanah sebelumnya? Dalam kasus ini pemilik tanah memperoleh keuntungan terhadap tanah sisa yang dimiliki akibat perubahan kondisi yang lebih baik. Apakah keuntungan ini harus dibayarkan oleh pemilik tanah baik dalam bentuk tunai ataupun dalam bentuk pengurangan terhadap nilai ganti rugi tanah yang terkena?
2.1.2.4 Di jurisdiksi yang memiliki konsep dimana setiap orang memiliki posisi ekonomi yang sama sebelum dan sesudah pengadaan tanah menetapkan bahwa keuntungan yang diterima pemilik tanah tersebut diperhitungkan dalam penilaian ganti rugi. Namun jika kita bermaksud untuk melaksanakan amanat Peraturan Presiden tentang pengadaan tanah untuk memberikan kehidupan yang lebih baik, maka perlu dibuat standar bahwa Pemerintah akan membayar ganti rugi yang diderita akibat penurunan nilai tanah sisa namun tidak akan memperhitungkan keuntungan yang diperoleh pemilik akibat kondisi lingkungan yang membaik akibat pembangunan.

2.2 Ganti Rugi Non-Fisik

2.2.1 Terdapat beberapa kerugian (selain juga keuntungan) yang ditimbulkan akibat pengadaan tanah. Kerugian tersebut bukan merupakan kerugian akibat nilai jual tanah tersebut. Kerugian yang dimaksud adalah kehilangan atas kenyamanan yang selama ini diperoleh dengan tinggal ataupun berusaha di atas tanah tersebut. Secara umum, kerugian tersebut dapat dibagi sebagai kerugian dari sisi finansial ataupun ekonomi maupun kerugian yang bersifat emosional.

2.2.2 Kerugian finansial dapat dilihat sebagai biaya yang harus dikeluarkan oleh pemilik tanah akibat keharusan untuk hengkang dari tempat yang ditinggalinya. Jika diasumsikan setiap pemilik tanah harus membeli tanah baru sebagai pengganti, dia harus mengeluarkan biaya dan bea dalam perolehannya. Sesuatu yang dia harus bayarkan untuk memperoleh tanah dengan nilai yang setara. Biaya dan bea perolehan yang besarnya sekitar 5% dari nilai tanah wajib diberikan sehingga pemilik tanah dapat memperoleh tanah pengganti yang setara nilainya. Ada langkah lain yang dapat ditempuh sebagai solusi tanpa memberikan ganti rugi yaitu dengan memberi kebebasan pajak pada pemilik tanah yang akan membeli tanah pengganti di kemudian hari.

2.2.3 Jumlah biaya yang seharusnya juga diperhitungkan dalam pemberian ganti rugi adalah biaya untuk mobilisasi dari tempat lama ke tempat baru. Hal ini ditambah lagi dengan biaya untuk hunian sementara menunggu tempat tinggal yang baru siap untuk dihuni. Biaya-biaya tersebut seharusnya diberikan sehingga pengorbanan untuk bersedia repot-repot pindah demi pembangunan umum tidak perlu ditambah dengan repot-repot merogoh kocek sendiri untuk keperluan biaya pindah dan hunian sementara. Selanjutnya yang perlu didiskusikan tersendiri adalah seberapa jauh biaya pindah yang memperoleh biaya kompensasi, demikian pula seberapa lama biaya sewa rumah yang akan menjadi kompensasi yang adil.

2.2.4 Diluar hal tersebut, kerugian finansial dapat pula dipandang sebagai hilangnya pendapatan akibat usahanya yang terhenti beberapa saat selama masa pemindahan ke tempat yang baru. Terdapat beberapa yang harus diputuskan dalam memberikan kerugian akibat kehilangan pendapatan.

2.2.5 Pertama, apakah pendapatan tersebut merupakan pendapatan yang tercatat. Karena kebanyakan usaha di Indonesia adalah usaha yang tidak tercatat jika dilakukan oleh non-perusahaan. Sebagai contoh adalah Warung tradisional dan pertanian padi. Keduanya, jika dilaksanakan oleh perorangan tidak ada yang memiliki pembukuan mengenai pendapatan. Secara formal akan sulit bagi penilai untuk menentukanbesarnya pendapatan jika tidak tercatat, sedangkan di satu sisi usaha perorangan seperti itu telah terbukti sebagai penopang roda perekonomian pada krisis moneter lalu.

2.2.6 Selanjutnya adalah apakah yang diberikan pendapatan kotor ataukah pendapatan bersih. Pemberian kompensasi sebaiknya berdasarkan pada pendapatan bersih mengingat bagi pemilik usaha tersebut kehilangan kenyamanannya adalah kehilangan pendapatan bersih setelah dikurangi biaya operasional. Jika disepakat, hal yang perlu ditetapkan adalah untuk berapa lama kompensasi kehilangan pendapatan bersih diberikan. Apakah suatu usaha yang dipindahkan ke tempat lain dapat pulih dalam 6 bulan atau 1 tahun atau bahkan 2 tahun? Penilai dapat menentukan besarnya pendapatan bersih dengan kompetensinya namun Pemerintah tetap harus menetapkan lamanya kehilangan pendapatan yang diberikan kompensasi sehingga penilai memiliki standar untuk keluar dengan nilai kompensasi.

3 Penutup

Besarnya pemberian ganti rugi yang selama ini disinyalir sebagai salah satu kontributor masalah dalam pengadaan tanah harus segera diakhiri. Salah satu upayanya adalah menetapkan suatu standar tentang kerugian apa saja yang diberikan kompensasi serta standar yang mengatur bagaimana pelaksanaannya. Standar tersebut diharapkan tidak hanya berfungsi sebagai refererensi bagi lembaga/tim penilai harga tanah dalam melaksanakan tugasnya secara independen, tetapi juga sebagai alat kontrol yang transparan bagi masyarakat sehingga keresahan yang sebagaian diakibatkan oleh kebutaan tentang proses dan besarnya ganti rugi dapat teredusir.
Selengkapnya..

Mengapa ada Tanah Bersertifikat yang tidak diketahui Letaknya?


Seseorang pernah menunjukkan kepada saya sertifikat atas tanah warisan yang tidak diketahui letaknya. Mendiang orang tuanya tidak sempat bercerita tentang tanah yang dimilikinya kepada anak-anaknya. Mencoba mencari tahu dengan datang ke Kantor Pertanahan setempat jawaban yang diperolehnya juga tidak memuaskan. Sambil menggaruk-garukkan kepalanya dia bertanya: "Bukankah setiap tanah yang akan diberikan sertifikatnya telah melalui proses pengukuran dan perpetaan sebagaimana diatur dalam UUPA?"

Sebelum kita menjawab pertanyaan yang menggelitik tersebut sebaiknya kita cermati bahwa peran pemerintah dalam pendaftaran tanah sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang Pokok Agraria pasal 19 meliputi tiga hal yaitu:
a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Kegiatan diatas telah dimulai sejak tahun 1960 atau hampir 50 tahun. Sudah lebih dari 30 juta bidang tanah terdaftar di Indonesia. Tentu saja proses sertifikasi atau pendaftaran tanah tersebut telah melalui ketiga hal sebagaimana dimaksud diatas. Diharapkan bidang tanah yang telah melalui proses pendaftaran tanah dapat memiliki kepastian hukum baik mengenai fisik bidang tanahnya maupun yuridis kepemilikannya.

Secara sederhana, setiap kegiatan pengukuran dan pemetaan bidang tanah diharapkan menghasilkan dua output utama yaitu:
a. Dimensi/bentuk dari bidang tanah serta luasnya; dan
b. Posisi bidang tanah di permukaan bumi
Dalam menghasilkan output pertama diatas, kegiatannya relatif lebih mudah. Pengukuran difokuskan pada pengukuran panjang dan lebar bidang tanah. Untuk bidang tanah dengan bentuk yang lebih tidak teratur tentu saja memerlukan teknik yang lebih rumit. Seorang pelajar SMU secara sederahana dapat melakukan pengukuran panjang dan lebar sebuah meja makan dan menggambarkannya diatas secarik kertas. Seseorang yang membaca gambar tersebut dapat dengan mudah mengetahui bentuk dan ukuran dari meja tersebut. Itu adalah bagian pertama dari pengukuran dan pemetaan.

Seseorang yang membaca gambar tersebut dapat dengan mudah mengetahui bentuk dan ukuran dari meja tersebut. Itu adalah bagian pertama dari pengukuran dan pemetaan.
Bagian Kedua adalah untuk mengetahui dimana posisi meja tersebut di dalam suatu ruangan. Apakah di sudut ruangan atau di tengah ruangan atau dibagian lain dari ruangan tersebut. Hal inilah yang disebut dengan menentukan posisi atau letak dari sebuah obyek.
Dalam melakukan kegiatan tersebut perlu sarana yang disebut dengan peta. Peta menggambarkan denah secara rinci tentang ruangan tersebut. Dimana letak kursi dan benda-benda lain. Jika peta telah tersedia, pelajar SMU tadi dapat dengan mudah meletakkan posisi meja tersebut pada ruangan yang telah dipetakan.
Sayang sekali pada proses pendaftaran tanah atau sertifikasi kegiatan kedua kadang tidak dapat dilakukan karena ketidak tersediaan peta. Jumlah peta yang ada di Indonesia hingga saat ini sangat terbatas. Oleh karena itu banyak sekali gambar meja-meja atau bidang tanah yang tidak diketahui lokasi letaknya.
Hal diatas adalah penyebab utama mengapa tanah yang telah bersertifikat kadan tidak dapat dipetakan.

Bagaimana dengan sertifikat tanah yang tumpang tindih?

bersambung
Selengkapnya..

Minggu, 09 November 2008

Informasi Pasar Tanah (Land Market)

Pasar selain tempat bertemunya pelaku transaksi juga memiliki fungsi utama lain yaitu sebagai tempat diperolehnya informasi tentang aktifitas pasar tersebut. Dalam pasar tanah informasi aktifitas dapat dilihat dari tiga elemen utama yaitu (1) Data yang menunjukkan waktu terjadinya transaksi; (2) Data kuantitatif yang menjelaskan nilai/harga transaksi yang terjadi; (3) Data deskriptif mengenai obyek transaksi.

Berangkat dari ketergantungan makhluk hidup yang sangat tinggi terhadap tanah, tidak mengherankan jika manusia memberikan nilai yang kadang tak terhingga untuk tanah. Nilai tersebut dapat bersumber dari penghargaan terhadap fungsi tanah, kandungan material yang ada di dalamnya, ataupun hal-hal lain yang bersifat abstrak seperti keindahan. Atas dasar nilai-nilai itulah, manusia melakukan pertukaran tanah dengan benda-benda atau jasa yang juga setara nilainya. Dalam perkembangannya, tanah pun mulai diperlakukan sebagai komoditas, yaitu sesuatu yang dibutuhkan dan dapat disuplai ketersediaannya di suatu arena yang disebut pasar.

Sebagai bagian dari perekonomian, pasar tanah memiliki kontribusi yang cukup besar sebagai penggerak perekonomian. Pertumbuhan perekonomian seringkali direfleksikan oleh pembangunan real estate, apartemen, gedung, pusat perbelanjaan yang nota bene adalah peningkatan pemanfaatan atas tanah. Pembangunan pertanahan yang pesat di suatu tempat meningkat merupakan indikator pergerakan perekonomian.

Pasar selain tempat bertemunya pelaku transaksi juga memiliki fungsi utama lain yaitu sebagai tempat diperolehnya informasi tentang aktifitas pasar tersebut. Dalam pasar tanah informasi aktifitas dapat dilihat dari tiga elemen utama yaitu (1) Data yang menunjukkan waktu terjadinya transaksi; (2) Data kuantitatif yang menjelaskan nilai/harga transaksi yang terjadi; (3) Data deskriptif mengenai obyek transaksi.

Penjelasan tentang ketiga data tersebut adalah sebagai berikut :

(1) Data yang menunjukkan waktu terjadinya transaksi

Terdapat dua jenis data yang menunjukkan waktu terjadinya transaksi. Yang pertama adalah saat terjadinya peralihan hak adalah saat dibuatnya atau ditandatanganinya akte jual-beli oleh pihak-pihak yang berkepentingan terhadap transaksi tersebut. Banyak pakar hukum berpendapat bahwa tanggal inilah yang digunakan dalam menentukan saat beralihnya kepemilikan/hak atas tanah.

Data tanggal transaksi lain adalah tanggal pendaftaran peralihan hak, yaitu tanggal pada saat sebuah sertifikat atas tanah, dicatatkan pendaftaran peralihannya di Kantor Pertanahan. Masih banyak perdebatan di kalangan ahli hukum apakah tanggal pendaftaran dapat dikategorikan sebagai tanggal transaksi. Namun, jika dilihat berdasarkan konsep data publik, pada saat pembuatan akte, masyarakat belum mengetahui secara luas tentang transaksi tersebut.

Sedangkan jika sebuah peralihan hak telah didaftarkan, maka data tersebut sudah menjadi daftar umum yang terbuka untuk masyarakat. Berdasarkan hal itulah, sebaiknya informasi tanggal tanggal pendaftaran juga disajikan untuk keperluan sistem informasi pasar tanah.

(2) Data Harga Transaksi

Data harga transaksi dapat disediakan secara langsung dari arsip pendaftaran tanah yang ada. Yaitu dengan mengutip harga yang dilaporkan pada akte jual beli (reported price).
Idealnya harga transaksi yang digunakan dalam sistem informasi pasar tanah adalah harga pasar tanah. Harga Pasar tanah adalah sejumlah uang yang disepakati oleh penjual dan pembeli untuk membayar harga komoditi yang ditransaksikan. Pertanyaan berikutnya adalah apakah harga pada akte mencerminkan harga pasar tanah?

Terdapat kekhawatiran bahwa kebutuhan diatas tidak dapat terpenuhi. Hal ini disebabkan adanya sinyalemen tentang perbedaaan antara harga transaksi yang tercantum pada akta jual beli dengan harga transaksi yang sebenarnya. Kondisi ini disebabkan oleh lemahnya sistem pajak yang berlaku saat ini, yang memungkinkan penjual dan pembeli untuk melaporkan harga lebih rendah dari yang sebenarnya. Hal ini bertujuan untuk menghindari pembayaran pajak yang tinggi. Dengan demikian, dapat diduga bahwa sebagian besar harga akte yang dilaporkan adalah under-valued.

Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah dilakukan survei harga pasar. Survei dilakukan secara langsung terhadap pihak-pihak yang bertransaksi. Namun demikian kegiatan ini membutuhkan biaya dan tenaga yang sangat besar. Di samping itu kesediaan pihak yang bertransaksi untuk secara jujur menyampaikan harga transaksi sebenarnya dalam survei juga diragukan. Kekhawatiran mereka terhadap tuduhan penggelapan pajak perlu dipertimbangkan. Oleh karena itu survei terhadap seluruh transaksi yang ada saat ini belum efisien untuk dilaksanakan.

Namun demikian bukan berarti data harga transaksi (reported price) yang ada tidak dapat dimanfaatkan. Hal ini disiasati dengan penambahan beberapa data komplemen berupa pelaku transaksi. Data komplemen kedua adalah nama penjual dan pembeli. Umumnya, jika pelaku transaksi adalah suatu badan usaha atau badan hukum maka dimungkinkan untuk memperoleh harga pasar dari reported price. Hal ini dikarenakan sistem audit keuangan di badan usaha atau badan hukum yang cukup baik.

(3) Data Obyek Transaksi

Data ini dapat menjelaskan secara gamblang karakteristik bidang tanah yang bersangkutan. Karakteristik yang dimaksud meliputi jenis hak, luas tanah, dan lokasi bidang tanah yang dapat mempengaruhi harga transaksi. Dengan demikian, para pengguna bisa memperoleh gambaran umum mengenai bidang tanah yang ditransaksikan dan relasinya terhadap harga transaksi.
Kendala yang dihadapi saat ini adalah tidak semua data yang dalam sistem pendaftaran tanah, dapat diketahui lokasinya secara pasti. Ketidakjelasan sistem alamat pos di negara kita merupakan satu masalah. Masalah lain masih dijumpai sejumlah bidang tanah yang tidak disurvei dengan benar sehingga tidak dapat ditelusuri lokasinya.

Penutup

Kebutuhan masyarakat terhadap informasi pasar tanah saat ini semakin tinggi. Informasi pasar tanah yang baik sekurangnya memiliki ketiga jenis data diatas. Kabar baiknya, ketiga jenis data pasar tanah diatas merupakan data yang saat ini dimiliki oleh negara ini melalui sistem pendaftaran tanahnya. Untuk itu merupakan langkah yang tepat jika data yang ada segera dikelola untuk memberikan publik suatu informasi pasar tanah.


Selengkapnya..

Jenis Hak atas Tanah


Secara mudah jenis hak atas tanah di dunia ini terbagi menjadi dua bagian yaitu
a. hak milik; dan
b. hak sewa atau hak penggunaan atas tanah orang lain.

Hak milik atau di negara lain dikenal dengan nama freehold atau feesimple merupakan hak atas tanah yang bersifat (hampir) absolut. Jangka waktu kepemilikannya tidak terbatas. Pemegang hak milik pun memiliki kebebasan dalam menggunakan dan memetik hasil dari tanahnya sepanjang tidak diatur oleh peraturan perundangan lain.


Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pasal 20 dikatakan Hak Milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan yang mengatur bahwa tanah memiliki fungsi sosial. Hal ini menunjukkan bahwa hak milik merupakan hak atas tanah yang memiliki jangka waktu dan penggunaan yang tidak terbatas sepanjang tidak bertentangan dengan fungsi sosial tanah.

Hak sewa atau leasehold adalah hak menggunakan tanah yang bukan miliknya. Kepemilikan tanah tersebut bisa dipunyai oleh Negara ataupun orang per orang. Sesuai dengan namanya, hak sewa memiliki jangka waktu dan penggunaan yang terbatas. Lama jangka waktu dan jenis penggunaan yang diijinkan tergantung dari perjanjian antara pemegang hak sewa dengan yang memiliki tanah.

Karena baik jangka waktu dan jenis penggunaan ditentukan oleh perjanjian sewa tersebut maka Hak Sewa memiliki bentuk yang beragam. Jangka waktu hak sewa atau leasehold berbeda-beda di satu negara dengan negara lain. Di Indonesia jangka waktu terlama yang dapat diberikan berkisar antara 20 hingga 35 tahun. Di negara lain bisa mencakup hingga 99 tahun.

Jenis Hak sewa ini pun dapat dibedakan dari bentuk penggunaan atau pemanfaatan tanah. Di Indonesia seperti diatur dalam UUPA terdapat beberapa hak yang termasuk dalam golongan ini yaitu:
a. hak guna-usaha,
b. hak guna-bangunan,
c. hak pakai,
d. hak sewa (untuk bangunan),
e hak membuka tanah,
f. hak memungut-hasil hutan,
Selengkapnya..