Selasa, 24 Februari 2009

Strata Title, Apa dan Bagaimana penerapannya di Indonesia

Strata Title adalah terminologi barat populer tentang suatu kepemilikan terhadap sebagian ruang dalam suatu gedung bertingkat seperti apartment atau rumah susun.

Di daerah perkotaan dimana tingkat kebutuhan akan ruang sangat tinggi, konsep ruang baik hunian ataupun komesial secara landed menjadi kurang efisien. Kota dengan luas tanah yang terbatas tidak dapat menjawab hal tersebut. Untuk menjawab kebutuhan tersebut sejak 1985 di Indonesia diperkenalkan konsep hunian vertikal dalam suatu Undang-undang tentang Rumah Susun. Diharapkan dengan adanya aturan yang jelas dapat merangsang pembangunan rumah susun dengan cepat sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan hunian khususnya diperkotaan.

Secara singkat undang-undang tersebut mengatur tentang tata cara pembangunan, pemilikan, penghunian dan pengelolaan rumah susun. Dalam tulisan ini kita hanya membahas bagian tentang kepemilikan yang sering disebut-sebut sebagai strata title.

Strata title dijelaskan secara jelas sebagai hak milik atas satuan rumah susun (hasarusun). Dijelaskan pula bahwa sebagai pemegang hak, seseorang berhak pula atas sebagian (proporsi) bagian-bersama, benda-bersama maupun tanah-bersama. Perlu diperjelas bahwa hak (kepemilikan) atas bagian-bersama, benda-bersama maupun tanah-bersama tidak menunjuk kepada bagian atau lokasi tertentu tetapi dalam bentuk proporsi atau prosentase kepemilikan.

Sebagai bukti kepemilikan strata title, Badan Pertanahan Nasional menerbitkan suatu sertifikat hak milik atas satuan rumah susun yang didalamnya menerangkan tiga hal. Yang pertama adalah keterangan mengenai letak, luas dan jenis hak tanah-bersama. Keterangan ini dapat dilihat pada salinan buku tanah dan surat ukur (lebih dikenal dengan nama sertifikat tanah) atas hak tanah bersama dimana suatu apartemen berdiri.

Calon pembeli dari suatu apartemen atau rumah susun sebaiknya mencermati jenis hak tanah-bersama ini. Seringkali kita terkecoh dengan istilah ”Hak Milik atas Satuan Rumah Susun”. Penggalan kata Hak Milik tersebut dapat membuat orang memiliki anggapan keliru bahwa strata title identik dengan ”Hak Milik” dimana jangka waktu yang diberikan tak terbatas. Perlu ditegaskan disini bahwa jangka waktu dari strata title (hasarusun) adalah sama dengan jangka waktu hak atas tanah-bersamanya. Dengan demikian Strata Title dari sebuah unit apartemen yang dibangun diatas tanah Hak Guna Bangunan (HGB) akan memiliki jangka waktu yang sama yaitu 20 tahun. Dengan demikian pada tahun keduapuluh pemilik strata title wajib secara bersama-sama memperpanjang hak atas tanah-bersama (HGB) tersebut. Sebaliknya Strata Title dari satuan rumah susun yang dibangun diatas tanah Hak Milik memiliki jangka waktu yang tak terbatas.

Pengetahuan tersebut perlu dicermati juga oleh perusahaan atau warga negara asing. Di dalam Undang Undang Pokok Agraria Tahun 1960 dijelaskan bahwa perusahaan (kecuali BUMN) tidak dapat memiliki Hak Milik. Hal ini juga berarti perusahaan tersebut tidak dapat memiliki strata title yang melekat diatas tanah bersama berupa Hak Milik. Lebih jauh seorang warga negara asing dimungkinkan memiliki tanah dalam bentuk kepemilikan Hak Pakai. Hal ini berarti pula bahwa warga negara asing hanya dapat memiliki sebuah unit rumah susun yang dibangun diatas tanah yang memiliki Hak Pakai.

Keterangan kedua dari sebuah strata title adalah ”Gambar Denah”. Gambar denah merupakan gambar yang menunjukkan terletak di lantai berapa unit (satuan) rumah susun yang bersangkutan. Selanjutnya di dalam gambar denah lantai tersebut ditunjukkan pula letak atau posisi unit tersebut. Calon pemilik satuan rumah susun wajib mencermati keterangan spasial yang ada di gambar dengan keadaan fisik di lantai rumah susun yang bersangkutan. Seringkali terjadi keluhan bahwa luas fisik satuan rumah susun lebih kecil dari pada yang disajikan di Gambar Denah. Hal ini dapat terjadi mengingat unit yang digambarkan diukur sesuai dengan as atau titik tengah dari tembok atau kolom struktur suatu unit, sedangkan jika pemilik melakukan pengukuran didalam ruangan yang didapat adalah luas net dari interior unit tersebut.

Keterangan ketiga yang menjadi bagian dari strata title adalah ”Pertelaan”. Pertelaan merupakan penjelasan mengenai besarnya proporsi atau bagian hak atas bagian-bersama, benda-bersama, dan tanah-bersama. Proporsi ini akan berdampak pada pengeluaran yang dilakukan untuk perawatan semua atribut yang dimiliki bersama sebagai contoh adalah biaya bulanan perawatan atau maintenance fee atau biaya renovasi yang biasanya terjadi beberapa tahun sekali atau perpanjangan hak atas tanah-bersama. Sebaliknya proporsi tersebut juga digunakan jika diperoleh aliran dana masuk. Kaasus yang ekstrim jika bangunan yang ada sudah tidak layak digunakan dan seluruh pemilik sepakat untuk menjual keseluruhan asset di areal rumah susun tersebut. Masing-masing pemegang hak milik atas satuan rumah susun akan memperoleh bagian sebesar proporsi yang disebutkan dalam pertelaan dari jumlah keseluruhan uang yang diterima dari hasil penjualan.

Strata Title diberikan kepada pemilik unit apartemen agar kepemilikannya dapat terlindungi di mata hukum. Dengan strata title yang terdaftar dalam bentuk sertifikat hak milik atas satuan rumah susun tentunya pemilik dapat memanfaatkannya untuk keperluan lain seperti penjaminan dalam rangka memperoleh pinjaman dari Bank. Ketiga pokok yang diuraikan diatas diharapkan semakin memperjelas masyarakat mengenai cakupan hak dari suatu strata title dan tentu saja konsekuensinya.
Selengkapnya..

Jumat, 30 Januari 2009

Sistem Informasi Geografis (SIG) Pasar Tanah

Penyajian Informasi Pasar Tanah
Peta Pasar Tanah adalah penyajian informasi pasar tanah dalam bentuk grafis. Kelebihan dari penyajian data tersebut adalah pengguna dapat memperoleh gambaran mengenai distribusi intensitas pasar tanah secara spasial. Saat ini Badan Pertanahan Nasional telah mencoba menyajikan ketiga data utama di atas dalam suatu Sistem Informasi Pasar Tanah yang dapat diakses dan dimanfaatkan secara luas oleh seluruh masyarakat yang memiliki kepentingan untuk melakukan transaksi pertanahan. Data-data tersebut diharapkan dapat menjadi panduan atau pegangan utama bagi para pelaku transaksi.
Penyajian data-data tersebut dilakukan dengan mengkorelasikan ketiganya sehingga para pengguna data dapat melakukan pencarian dengan mudah.


Basis data tersebut juga disajikan mulai dari tingkat Kabupaten/Kota, mengingat basis administrasi terkecil yang ada di Badan Pertanahan nasional adalah tingkat Kabupaten/Kota. Dalam aplikasinya, keseluruhan data disajikan dalam format tekstual. Pengguna tinggal memilih kabupaten/kota di propinsi tertentu dan memperoleh daftar seluruh data pasar yang tersedia. Pengguna juga dapat melihat kapan terjadinya transaksi dan berapa harga transaksi yang dilaporkan.Selain dalam format tekstual, data pasar ini juga disajikan dalam format grafis atau berupa peta.Informasi utama yang ingin disampaikan dalam format grafis ini adalah sebaran atau distribusi transaksi jual beli dalam suatu wilayah administrasi kabupaten/kota. Oleh karena itu, legenda (feature) yang dipilih adalah titik (point). Dengan feature titik, pengguna data dapat lebih mudah mencerna distribusi sebaran (jumlah atau kerapatan) pasar tanah di suatu kabupaten/kota. Berbeda jika feature yang digunakan adalah poligon bidang tanah. Feature ini akan menggiring persepsi pengguna data pada perbedaan bobot transaksi berdasarkan luas bidang (poligon) yang tergambar.


Gambar 1. Contoh peta penyebaran titik data transaksi (sumber data Badan Pertanahan Nasional)

Dari gambar peta transaksi diatas dapat terlihat penyebaran dari transaksi di pasar tanah dalam kurun waktu tertentu. Tergantung dari ketersediaan dan skala peta dasar yang ada, pengguna dapat melihat aktifitas pasar tanah dalam suatu wilayah atau lebih detail lagi di kawasan atau sepanjang jalan tertentu. Pengguna juga dapat membandingkan frekuensi transaksi antara satu kawasan dengan kawasan lain.
Sebagai tahap awal, penyebaran titik transaksi yang disajikan adalah transaksi yang terjadi dalam 2 (dua) tahun terakhir. Pada gilirannya nanti diharapkan pengguna informasi dapat melakukan pemilihan kurun waktu yang diinginkan. Dengan demikian pengguna akan memperoleh informasi yang lebih kaya yang berhubungan dengan waktu (time series). Perbandingan tingkat aktifitas pasar antar kurun waktu dapat dilakukan. Jika dihubungkan dengan spasial dapat pula dipantau pergeseran ke arah mana aktifitas pasar bergerak.
Meskipun Sistem Informasi Pasar Tanah ini mencoba menyajikan data seakurat mungkin, namun pengguna informasi tetap harus berhati-hati menggunakan data yang ada. Hal ini dikarenakan tidak semua data transaksi dapat disajikan. Penyajian dalam format spasial bisa memunculkan asumsi bahwa penyebaran data sertifikat tanah yang memiliki koordinat, sama dengan penyebaran transaksi pasar tanah. Padahal, seperti gambar di bawah ini, masih terdapat suatu data set yang hanya sekitar 19% data yang diperoleh dari Kantor Pertanahan memiliki koordinat yang akurat yang dapat dipetakan. Akibatnya, sistem informasi ini memiliki bias yang harus diperhitungkan.



Gambar 2. Gambaran ketersediaan data transaksi yang memiliki koordinat spasial. (sumber data: Badan Pertanahan Nasional)

Upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala ini adalah dengan menyajikan layer informasi lain berupa peta jumlah (count) transaksi berdasarkan wilayah administrasi kecamatan. Penyajian detail data transaksi hingga ruang lingkup kecamatan ini, dapat mengurangi bias data yang ada. Data ini pun mudah diperoleh karena seluruh data pasar yang tercatat di kantor pertanahan memiliki atribut lokasi kecamatan. Dengan demikian seluruh data dapat ditampilkan secara utuh.



Gambar 3. Gambaran persentase jumlah transaksi per kecamatan dalam suatu kabupaten (sumber data: Badan Pertanahan Nasional)


Jika tersedia peta dasar yang menggambarkan wilayah administrasi yang diinginkan. Gambar (pie chart) diatas dapat direpresentasikan secara spasial. Terlebih dengan adanya struktur data yang standar dari feature poligon batas wilayah administrasi, hubungan antara data diatas dengan peta dasar dapat dilakukan dengan mudah dan instant. Berikut ini adalah contoh peta wilayah kecamatan yang menggambarkan jumlah transaksi tanah sebagai representasi spasial dari data diatas.



Gambar 4. Peta jumlah transaksi pertanahan berbasis kecamatan (sumber data: Badan Pertanahan Nasional)


Penyajian data berbasis kecamatan ini memiliki kekurangan sekaligus kelebihan. Kekurangannya adalah tingkat akurasi yang rendah dibanding peta penyebaran transaksi yang berbasis titik. Hal ini karena data yang dapat ditampilkan hanya terbatas sampai level kecamatan. Selain itu, penyajian data sebaran jumlah transaksi secara spasial yang tidak dibandingkan dengan luasnya, dapat memberikan interpretasi yang salah tentang intensitas transaksi pasar. Meskipun demikian, penyajian layer tambahan ini diharapkan dapat menjadi komplemen dari peta penyebaran data pasar.
Penyajian Sistem Informasi Pasar Tanah dalam bentuk kedua peta diatas, baru terbatas pada tampilan grafis saja. Dengan memanfaatkan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis, data-data grafis tersebut dapat dengan mudah dihubungkan dengan data-data tekstual.
Untuk merealisasikan pembangunan sistem informasi geografis yang saling menghubungkan data grafis dan data tekstual, perlu dibangun geodatabase di lingkungan penilaian tanah Badan Pertanahan Nasional. Pembangunan struktur data ini meliputi pendefinisian tema serta fitur/data set yang berisi atau menghubungkan tabel spasial, tabel tekstual maupun tabel look up. Dengan tertatanya geodatabase, diharapkan akses informasi spasial dapat diperoleh dengan cepat dan handal.
Dengan demikian, jika pengguna tertarik dengan suatu transaksi di lokasi tertentu, dia juga dapat langsung mengakses data-data lain seperti kapan terjadinya transaksi, berapa nilai transaksinya, jenis hak, dan lain sebagainya. Demikian pula sebaliknya, jika seseorang ingin mengetahui lokasi dari suatu transaksi yang ada, dia dapat terhubung dengan data spasial yang menunjukkan lokasi pasti dari bidang tanah yang ditransaksikan tersebut.

Manfaat Sistem Informasi Pasar Tanah
Suatu informasi yang diperoleh dari pengolahan data yang baik dan akurat, akan memberikan manfaat bagi penggunanya, khususnya sebagai pegangan atau pedoman dalam proses pengambilan keputusan, baik saat ini maupun untuk masa yang akan datang . Sistem Informasi Pasar Tanah yang dikembangkan saat ini pun juga diharapkan dapat memberikan informasi yang dibutuhkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengambilan keputusan menyangkut pasar tanah.
Secara umum, pihak-pihak yang berkepentingan dalam pasar tanah, dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu pelaku pasar tanah, institusi pengambil kebijakan di bidang pertanahan, maupun badan usaha privat yang memiliki strategi bisnis yang berdasarkan pada pasar tanah, dan akademisi atau lembaga riset baik publik maupun swasta yang memiliki interest dalam bidang perekonomian pertanahan.
Manfaat Sistem Informasi Pasar Tanah bagi ketiga pihak di atas, adalah sebagai berikut :
(1) Manfaat bagi Pelaku Pasar Tanah.
Dengan adanya sistem informasi pasar tanah diharapkan para pelaku pasar tanah dapat memperoleh data yang seimbang, baik dari sisi pemilik bidang tanah maupun seseorang yang akan berinvestasi di tanah. Saat ini, informasi yang seimbang mengenai transaksi pasar tanah sulit diperoleh. Akibatnya, calon investor yang akan membeli ataupun pemilik tanah yang hendak menjual tanahnya harus melakukan upaya ekstra untuk mendapatkan informasi nilai yang tepat dari suatu bidang tanah. Jika dalam suatu transaksi hanya satu pihak saja yang memiliki informasi yang lebih baik, maka posisi para pelaku transaksi khususnya dalam proses tawar-menawar maupun dalam pengambilan keputusan menjadi tidak seimbang.
Dengan adanya Sistem Informasi Pasar Tanah ini, diharapkan para pelaku pasar memiliki dasar untuk mengetahui berapa nilai yang tepat dari suatu bidang tanah, sebelum mereka melakukan pengambilan keputusan.
Manfaat lainnya yang dapat diperoleh pelaku pasar adalah mereka dapat mengambil keputusan di wilayah mana investasi bidang tanah akan dilakukan. Dari peta penyebaran data transaksi dapat terlihat dengan mudah perbandingan tinggi rendahnya tingkat aktivitas pasar antara wilayah satu dengan wilayah lainnya. Hal ini ditunjukkan oleh tingkat kerapatan sebaran distribusi transaksi. Semakin rapat suatu distribusi transaksi, semakin tinggi aktivitas pasar di wilayah tersebut. Hal ini berarti pula tingkat perkembangan perekonomian wilayah tersebut lebih baik yang kemudian berkorelasi dengan perkembangan peningkatan nilai tanah di daerah tersebut.
(2) Manfaat bagi institusi pengambil kebijakan di bidang pertanahan ataupun badan usaha privat yang memiliki strategi bisnis yang berdasarkan pada pasar tanah
Bagi institusi pengambil kebijakan di bidang pertanahan, pembuatan kebijakan yang menyangkut tanah dan ruang dapat diperkaya dengan informasi pasar tanah. Sebagai contoh, penentuan lokasi-lokasi kegiatan yang bersifat pro-poor, dapat terbantu dengan adanya informasi berupa gambaran daerah-daerah yang memiliki nilai transaksi pertanahan yang kecil atau tingkat kepadatan transaksi yang rendah.
Lebih jauh lagi pemerintah dapat memanfaatkan informasi ini untuk memonitor peningkatan aktifitas pasar tanah yang eksesif atau terlampau agresif. Dengan perangkat ini, pemerintah dapat segera melakukan kajian dan mengambil langkah untuk memastikan bahwa peningkatan aktifitas pasar tanah dalam batas yang wajar dalam pertumbuhan ekonomi. Di lain sisi, jika diduga bahwa aktifitas yang terjadi lebih banyak didrive oleh sentimen yang dapat mengakibatkan penggelembungan, maka Pemerintah juga dapat mengambil kebijakan untuk meredam kondisi tersebut.
Selain pemerintah, badan usaha di berbagai sektor dapat pula memanfaatkan informasi ini. Badan usaha privat yang memiliki strategi bisnis yang berdasarkan pada pasar tanah, misal yang bergerak dalam bidang pembangunan infrastruktur, mereka dapat langsung mengetahui lokasi pemasaran yang tepat, berdasarkan informasi lokasi-lokasi dimana harga transaksinya tinggi atau tingkat aktivitas pasar tanah tinggi. Dalam bidang perbankan, sistem informasi pasar tanah membantu lembaga-lembaga perbankan dalam membuat keputusan yang tepat dan aman, terkait pemberian pinjaman dengan agunan bidang tanah yang berada di suatu lokasi tertentu.
(3) Manfaat bagi akademisi atau lembaga riset baik publik maupun swasta yang memiliki interest dalam bidang perekonomian pertanahan
Penyajian data pasar tanah yang meliputi kurun waktu yang berbeda (time series data), dapat dimanfaatkan oleh para peneliti untuk melakukan berbagai eksperimen dan analisis serta perkiraan (forecast) dalam bidang pertanahan. Sangat terbuka melakukan penelitian aktifitas pasar tanah dari sudut pandang volume, nilai ataupun frekuensi transaksi tanah yang dikaitkan dengan waktu.
Berbeda dengan sistem informasi yang bersifat tekstual, dengan disajikannya informasi dalam bentuk spasial ini peneliti dapat pula menambahkan unsur dimensi lain dalam studinya. Tidak hanya waktu, monitoring pergerakan atau pergeseran lokasi pasar tanah yang aktif dalam kurun waktu tertentu dapat dilakukan dengan lebih mudah jika informasi telah tersedia.
Salah satu dari sasaran dibangunnya sistem informasi pasar tanah ini adalah untuk mendorong peneliti-peneliti pertanahan dapat lebih aktif dalam melakukan studi dengan kemudaham memperoleh data. Hasil penelitian tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai bahan atau dasar pengambilan keputusan oleh bidang-bidang lain ataupun dalam pengambilan kebijakan guna meningkatkan efisiensi pasar tanah itu sendiri.

PENUTUP
Pasar dalam arti tradisional adalah tempat sekumpulan orang bertemu dan bertransaksi terhadap suatu barang/jasa. Dalam pasar tradisional tersebut, pelaku pasar dapat memantau keadaan tentang ketersediaan, permintaan, harga yang terjadi dan tingkat aktifitas transaksi. Dalam pasar tanah dengan karakteristiknya yang unik dimana tanah tidak dapat dijinjing, tempat fisik seperti yang dimaksud diatas sulit diwujudkan. Namun demikian aspek lain dari pasar tanah yaitu informasi pasar tanah sangat bisa dibangun. Terlebih dalam era saat ini dimana informasi memegang peranan yang sangat besar dalam pengambilan keputusan. Keputusan yang diambil berdasarkan sistem informasi yang baik tentunya akan memiliki kualitas yang lebih baik terlebih dalam kondisi perekonomian yang sedang dilanda krisis seperti saat ini.
Kebutuhan akan informasi pasar tanah telah ada semenjak tanah mulai ditransaksikan. Ketiadaan atau kekurangan sistem informasi dapat mengakibatkan kekeliruan dalam bertransaksi atau lebih jauh lagi membuat masyarakat enggan bertransaksi. Sistem Informasi pasar tanah diharapkan dapat memenuhi kebutuhan tersebut sehingga masyarakat atau pelaku pasar yang akan bertransaksi dapat mengambil keputusan dengan lebih baik. Pada gilirannya penyedian informasi pasar tanah ini akan merangsang masyarakat untuk lebih menggiatkan aktifitas pasar tanah dan menjadikannya lebih efisien.

Dalam kaitannya dengan mengantisipasi krisis perekonomian, sistem informasi ini diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk memantau segala perkembangan yang terjadi di pasar baik trend pertumbuhan sesuai yang diharapkan ataupun peringatan awal jika terjadi keganjilan pasar. Dengan penyajian data yang mencerminkan kondisi pasar, pelaku pasar maupun pemerintah dapat memutuskan langkah transaksi ataupun kebijakan pertanahan yang lebih baik.

Selengkapnya..

Penilaian Tanah sebagai Sarana Pengambil Keputusan dalam Konsolidasi Tanah

Dalam posting terdahulu tentang konsolidasi tanah disampaikan bahwa perlu adanya Penjelasan bahwa posisi ekonomi pemilik tanah (dari sisi manfaat) paska konsolidasi akan lebih baik dibanding sebelum konsolidasi. Jika nilai aset yang dimiliki para pemilik tanah diproyeksikan akan meningkat setelah konsolidasi, masyarakat akan tergugah untuk berpartisipasi melakukan konsolidasi. Di sini lah peran penilaian tanah dibutuhkan. Hasil kalkulasi dari para profesional penilaian tanah akan menjadi rujukan bagi masyarakat untuk GO ataukah NO GO untuk mengkonsolidasi tanah di lingkungannya.

Penilaian Tanah adalah ilmu yang menghasilkan output nilai tanah yang merupakan estimasi terbaik terhadap harga tanah. Terdapat beberapa pendekatan dan teknik turunan dalam penilaian tanah. Pendekatan yang paling umum digunakan adalah pendekatan perbandingan harga pasar. Secara sederhana pendekatan ini dilakukan dengan mensurvey data-data transaksi tanah yang terjadi di sekitar lokasi dan membandingkannya dengan obyek yang dinilai. Dengan beberapa penyesuaian atau adjustment akan diperoleh nilai pasar dari obyek yang dinilai.

Di dalam penilaian dianut sebuah prinsip yaitu the highest and the best use principle. Dalam prinsip ini penilai dalam mengestimasi suatu nilai tanah wajib mendasarinya pada penggunaan yang tertinggi dan terbaik dari tanah tersebut. Sesuai dengan prinsip ini penilai wajib memiliki pengetahuan tentang kemungkinan pengembangan penggunaan/pemanfaatan suatu bidang tanah secara optimum. Sebagai contoh sebidang tanah di jalan protokol secara alamiah akan bernilai lebih tinggi jika digunakan sebagai tempat usaha ketimbang sebagai lahan pertanian atau permukiman. Dengan demikian penilai wajib melakukan penilaian dengan dasar seolah-olah tempat tersebut akan digunakan sebagai tempat usaha atau yang disebut Hypothetical development.

Namun demikian dalam menentukan pengembangan pemanfaatan tertinggi dan terbaik ini, seorang penilai harus juga mempertimbangkan batasan-batasan yang ada. Yang pertama adalah batasan secara hukum atau peraturan perundang-undangan. Seorang penilai tidak boleh memaksakan pengembangan suatu bidang tanah untuk keperluan tertentu yang dilarang oleh peraturan yang berlaku. Sebagai contoh sebidang tanah yang berada di kawasan/zoning permukiman tentunya tidak dapat dikembangkan dengan prospek sebagai sebuah pabrik. Demikian pula, penilai tidak dapat melakukan penilaian dengan basis pengembangan pembangunan apartemen 40 lantai jika peraturan setempat hanya mengijinkan bangunan setinggi 20 lantai. Secara prinsip, penggunaan tertinggi dan terbaik harus didukung oleh peraturan perundangan yang ada. Dalam praktek konsolidasi hal ini telah lazim dilaksanakan, dimana peruntukan penggunaan tanah paska konsolidasi disesuaikan dengan zoning/tata ruang yang ada.

Batasan berikutnya yang wajib diperhatikan adalah batasan fisik tanah itu sendiri yaitu Apakah tanah tersebut dapat dimanfaatkan untuk suatu perkembangan tertentu. Tanah dengan luas terbatas tentunya tidak dapat dimanfaatkan untuk pabrik atau gudang dengan volume besar. Demikian pula untuk sektor pertanian, setiap komoditas pertanian tentunya membutuhkan tanah dengan derajat keasaman tertentu.

Hal ketiga yang wajib diperhatikan adalah dari sisi aspek finansial. Apakah secara finansial pengembangan tersebut menghasilkan pengembalian yang lebih besar dari pengeluaran, kewajiban finansial dan amortisasi modal? Dari batasan ini pengambil keputusan dari kegiatan konsolidasi tanah dapat memutuskan apakah suatu bentuk pengembangan dapat dijadikan opsi konsolidasi jika return yang dihasilkan lebih tinggi dari seluruh biaya yang dikeluarkan.

Jika ketiga batasan diatas dipenuhi barulah kita bandingkan dari opsi-opsi konsolidasi tanah tersebut yang memberikan nilai sisa tanah tertinggi. Nilai sisa tanah yang tertinggi akan menunjukkan opsi pengembangan penggunaan yang terbaik. Dengan memperoleh nilai maksimal dari tanah, otoritas yang menangani konsolidasi tanah dapat memastikan bahwa konsolidasi tanah dilakukan untuk peningkatan pemanfaatan tertinggi dari tanah. Pengambilan keputusan tersebut merupakan kebijakan yang pro pemilik tanah dimana pemilik tanah pada gilirannya akan memperoleh peningkatan nilai maksimal dari tanahnya.

Kepiawaian penilai tanah yang profesional melalui pengetahuan dan pengalamannya akan menghasilkan rekomendasi terbaik mengenai penataan apa yang sebaiknya dilakukan dalam setiap kegiatan konsolidasi tanah.

TEKNIK PENILAIAN DALAM KONSOLIDASI TANAH

Di dalam penilaian tanah terdapat beberapa pendekatan dan teknik yang dapat diaplikasikan untuk memperoleh nilai tanah. Salah satunya adalah teknik penilaian untuk memperoleh nilai (sisa) tanah disebut dengan land residual. Dalam teknik ini penilai harus mengetahui terlebih dahulu tentang pengembangan apa yang akan dilakukan untuk suatu bidang tanah. Sebagai ilustrasi jika sekelompok bidang tanah darat akan dikonsolidasi menjadi pemukiman yang tertata. Secara sederhana langkah pertama yang harus dilakukan adalah mencari nilai pasar bidang tanah dengan asumsi seolah-olah bidang tanah tersebut telah selesai dikonsolidasi. Penilaian dilakukan dengan mensurvey harga pasar setempat terhadap bidang tanah yang mirip (bentuk, aksesibilitas, lokasi dll) dengan hasil konsolidasi.

Untuk lebih spesifik dalam memahaminya, kita coba kasus berikut: Hamparan dari beberapa bidang tanah seluas 10 Ha memiliki terletak di kawasan dengan peruntukan permukiman. Kondisi saat ini adalah bentuk yang tidak beraturan dan tidak semua bidang tanah memiliki aksesibilitas yang baik. Dari hasil survei harga tanah, didapat nilai pasar tanah rata-rata saat ini Rp. 150.000 per meter persegi atau Rp. 15.000.000.000,-

Sebagai langkah awal seorang penilai dalam konsolidasi tanah haruslah membuat hipotesis potensi pengembangan dari bidang tanah tersebut. Kita misalkan bahwa hamparan bidang tanah tersebut memiliki potensi untuk ditata menjadi kawasan pemukiman. Untuk menguji hipotesis tersebut dilakukan survei penilaian tanah. Survei penilaian tanah dilakukan untuk memperoleh nilai highest and best use atau nilai dari pemanfaatan terbaik. Jika hasil penilaian tersebut menunjukkan bahwa harga tanah saat ini belum menunjukkan atau masih dibawah nilai highest and best use maka kegiatan konsolidasi layak dilaksanakan.

Setelah ditetapkan jenis pengembangan yang akan dilakukan, selanjutnya dibuatkan rencana detail atau site plan dari rencana pengembangan konsolidasi. Peta tersebut memuat rencana letak dan bentuk dari bidang tanah setelah konsolidasi. Di samping itu peta tersebut juga memuat rencana infrastruktur dan fasilitas yang dibutuhkan untuk menjadi sebuah kawasan pemukiman yang tertata. Sebagai contoh dari hasil perencanaan tersebut diperoleh bahwa luas efektif pengembangan adalah 60%. Hal ini berarti 40% dari luas tanah digunakan untuk infrastruktur seperti jalan, drainage dan sebagainya serta untuk fasilitas umum lain seperti taman atau lapangan.

Langkah ketiga dari penilaian ini adalah melakukan survei harga pasar untuk tanah matang hasil konsolidasi. Survey dilakukan terhadap transaksaksi yang terjadi pada bidang tanah yang memiliki kualitas lingkungan yang setara dengan kualitas output konsolidasi. Jika dari hasil survei, kawasan permukiman tertata di daerah sekitar tanah tersebut memiliki harga pasar Rp. 600.000,-, maka nilai total dari hamparan setelah konsolidasi dapat diestimasi. Dengan perbandingan antara luas tanah efektif dan luas sarana/prasarana adalah 60%:40%, maka total luas tanah efektif adalah 6 Ha. Dengan demikian total nilai setelah pengembangan adalah 6 Ha. x Rp. 600.000 atau sebesar Rp. 36.000.000.000,-

Tahapan selanjutnya yang perlu dilakukan adalah melakukan estimasi biaya-biaya yang diperlukan dari kegiatan konsolidasi. Biaya-biaya ini meliputi biaya pematangan lahan, biaya konsolidasi, biaya sertifikasi, biaya sertifikasi dan biaya-biaya lain. Jika pekerjaan operasional tersebut dilakukan oleh pihak ketiga, biaya yang dihitung harus telah memperhitungkan keuntungan bagi yang mengerjakan. Dimisalkan setelah seluruh komponen biaya dihitung diperoleh total biaya konsolidasi adalah adalah Rp. 7.850.000.000,-.

Langkah terakhir adalah menetapkan nilai tanah sebelum konsolidasi sesuai dengan analisis highest and best use. Nilai tanah sebelum konsolidasi dapat dihitung dengan mengurangkan nilai tanah setelah pengembangan (Rp. 36.000.000.000,-) dikurangi dengan biaya operasional pengembangan dan perijinan (Rp. 7.850.000.000,-) yaitu sebesar Rp. 28.150.000.000,-. Angka yang diperoleh tersebut dibagi dengan luas tanah asal sebesar 10 Ha. Sehingga diperoleh nilai highest and best use adalah Rp. 281.500 per meter persegi.

Angka yang diperoleh tersebut lebih besar dari nilai tanah saat ini (Rp. 150.000/m2). Hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan konsolidasi yang diusulkan adalah layak karena nilai paska konsolidasi (Rp. 281.500/m2) lebih besar daripada nilai tanah yang tidak tertata saat ini (Rp. 150.000/m2).


Selengkapnya..

Jumat, 09 Januari 2009

Penataan Tanah dan Lingkungan melalui Konsolidasi Tanah

Konsolidasi Tanah adalah salah satu kegiatan penataan tanah baik berupa bentuk, letak dan aksesibilitas. Indahnya kegiatan ini adalah pemilik tanah tidak harus pindah ke tempat lain karena masih memiliki tanah di lokasi tersebut. Disinilah perbedaan krusial antara konsolidasi tanah dengan pengembangan yang dilakukan oleh para developer dimana pemilik tanah harus hengkang dari tempat yang nantinya akan tertata karena pembebasan tanah.

Jika kita perhatikan, seringkali kita jumpai bidang-bidang tanah berderet yang masing-masing berbentuk jajaran genjang terhadap jalan. Tidak jarang pula kita jumpai bidang-bidang tanah yang mengelompok sedemikian rupa sehingga sulit untuk menjangkau bidang tanah yang letaknya di bagian dalam. Lebih jauh lagi jika kita perhatikan banyak petani yang memiliki lahan pertanian yang terpencar dan dalam luasan yang kurang dari kebutuhan minimal usaha pertanian. Kelompok bidang tanah dengan contoh diatas merupakan sebagian dari obyek konsolidasi tanah untuk dilakukan penataan ulang. Dengan penataan diharapkan dapat diperoleh bidang tanah yang lebih teratur baik bentuk, luas, letak ataupun aksesibilitasnya.

Gambar di kiri menunjukkan contoh Konsolidasi Tanah Pertanian dimana keadaan sebelum Konsolidasi (ditunjukkan oleh warna putih) tanah terpencar-pencar dengan luas minimal dan Setelah Konsolidasi (warna merah) Tanah pertanian yang dimiliki petani menjadi terkumpul dengan luas yang lebih efektif untuk pertanian.

Pertanyaan selanjutnya adalah SWGL (so what gitu loh). Mengapa perlu ditata? Toh pemilik tanah sudah cukup damai mendiami tanah dengan bentuk jajaran genjang. Pemilik tanah yang memiliki letak didalam dengan aksesibilitas terbatas cukup nrimo dengan jalan kaki lewat gang-gang kecil yang sebetulnya adalah bidang tanah tetangganya. Petani dengan lahan sempit ataupun terpencar juga sudah menjalaninya selama puluhan tahun. Kelembaman ini adalah barrier pertama yang dihadapi oleh para penggiat konsolidasi tanah.


Tanpa kiat berupa penyuluhan dan informasi mengenai manfaat konsolidasi, para pemilik tidak akan bergeming dari keadaan saat ini. Perlu dijelaskan apa manfaat dari bentuk tanah yang lebih teratur atau persegi akan membuat bidang-bidang tanah tersebut dapat dimanfaatkan secara lebih optimal selain tampilan yang lebih manis. Perlu disampaikan bagaimana aksesibilitas yang lebih baik akan memudahkan transportasi dengan kendaraan sehingga waktu yang ditempuh untuk mengangkut hasil pertanian menjadi lebih cepat. Perlu pula disampaikan mengapa dengan menjadi satunya lahan pertanian yang terpencar akan membuat efisiensi dalam pengelolaan dan batas break even point dapat terlampaui dalam usaha yang ditekuni pemilik tanah. Pemilik tanah harus memperoleh jawaban dari pertanyaan apa, bagaimana, mengapa diatas.


APA YANG HARUS DILAKUKAN JIKA SEKELOMPOK PEMILIK TANAH BERMINAT MENGKONSOLIDASI TANAHNYA

Setiap konsolidasi tanah terkait ke minimal 2 (dua) aspek. Yang pertama adalah perubahan fisik tanahnya baik bentuk, letak dan luasnya dan yang kedua adalah aspek legalnya dimana tanda bukti hak atau sertifikat tanah yang ada pun harus diupdate sehingga mencerminkan fisik tanah yang baru.

Dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional dapat membantu kegiatan tersebut mulai dari perencanaan, pengukuran tanah yang ada, rencana desain perubahan sehingga menjadi lebih tertata serta penentuan batas-batas yang disepakati di lapangan untuk ditempatkan patok batas yang baru.

BERAPA BESAR BIAYANYA DAN SIAPA YANG MENANGGUNG BIAYANYA

Kegiatan-kegiatan tersebut diatas tentunya memerlukan biaya yang tidak dapat dikatakan sedikit yang tentunya menjadi tanggung jawab para pemilik yang memetik manfaat dari konsolidasi tanah. Jika masing-masing pemilik memiliki dana untuk melaksanakan hal tersebut tentunya tidak menjadi masalah, tetapi bagaimana jika tidak semua pemilik memiliki uang untuk membayarnya.

Tersedia kiat dimana pemilik tanah tidak perlu mengeluarkan uang untuk kegiatan konsolidasi tanah. Biaya yang ada dapat dicover dalam bentuk sumbangan tanah. Pemilik tanah secara proporsional dapat menyumbangkan sebagian tanahnya selain untuk infrastruktur (jalan dan lain sebagainya) dalam bentuk sumbangan tanah untuk pembangunan yang bernilai setara dengan biaya konsolidasi diatas.

Secara fisik luas bidang-bidang tanah setelah konsolidasi akan lebih kecil dengan sebelumnya. Hal ini merupakan konsekuensi logis dimana luas keseluruhan tetap sedangkan diperlukan tanah untuk pembangunan jalan, sarana lain dan sumbangan tanah tersebut. Namun demikian calon peserta konsolidasi tidak perlu cemas. Meskipun tanah yang dimiliki lebih sempit, namun nilai nya akan meningkat. Peningkatan nilai tanah yang terjadi akan lebih besar daripada kerugian akibat luas tanah yang lebih kecil tadi.


SOSIALISASI DAN JUSTIFIKASI KONSOLIDASI TANAH

Sosialisasi yang disebutkan diatas wajib diberikan kepada pemilik tanah untuk menumbuhkan kesadaran bahwa semua akan mendapat manfaat dari keteraturan tersebut. Dengan memberikan pengertian terhadap pertanyaan apa, bagaimana dan mengapa merupakan langkah besar awal sehingga pemilik tanah tergugah dan selanjutnya memiliki keingintahuan lebih terhadap manfaat konsolidasi tanah.

Keingintahuan pemilik tanah yang lebih besar tersebut tentunya tidak cukup diyakinkan dengan penjelasan yang bersifat narasi atau kualitatif. Apakah bakal manfaat yang disampaikan dapat dibuktikan? Perlu penjelasan yang lebih terukur dan bersifat kuantitatif terhadap semua manfaat tersebut. Dengan demikian penjelasan yang disampaikan lebih membumi dan dapat diterima, bahkan oleh mereka yang memiliki pengetahuan tentang pertanahan yang terbatas.

Mengapa hal ini perlu dilakukan? Karena kegiatan konsolidasi juga memberikan beban/biaya/kerugian yang merupakan trade off bagi pemilik tanah seperti disampaikan diatas. Sebagai contoh luas areal konsolidasi yang tidak mungkin bertambah akan mengakibatkan berkurangnya luas kepemilikan bidang tanah karena sebagian tanah dipergunakan bagi fasilitas dan utilitas umum seperti jalan, irigasi, dll. Di luar itu pemilik tanah dibebani dengan biaya pengembangan seperti pematangan lahan dan pembangunan infrastruktur.

Beban ini merupakan barier kedua dari pemilik tanah. Bukan tidak mungkin timbul pemikiran keengganan yaitu daripada bersusah-susah menanggung beban tanpa kejelasan manfaat yang diterima lebih baik tetap dengan keadaan sekarang. Untuk menembus barier ini perlu dijelaskan bahwa manfaat yang diterima lebih baik dibanding dengan biaya yang harus ditanggung.

Penjelasan posisi pemilik tanah (dari sisi manfaat) paska konsolidasi akan lebih baik dibanding sebelum konsolidasi perlu disampaikan dengan suatu ukuran. Apapun satuan ukuran yang digunakan haruslah satuan yang sama baik yang menggambarkan manfaat dan yang merepresentasikan biaya. Dengan adanya kesamaan tersebut maka barulah manfaat dan beban/biaya tersebut dapat diperbandingkan. Jika diperoleh satuan yang lebih besar paska konsolidasi dapat memberikan gambaran riil bahwa kegiatan konsolidasi berarti positif buat mereka.

Satuan ukuran yang mudah dipahami oleh hampir seluruh lapisan masyarakat adalah satuan moneter atau mata uang. Bukan berarti UUD (ujung-ujungnya duit), Namun memang masyarakat akan lebih mudah memahami jika manfaat dan biaya disajikan dalam bentuk rupiah. Manfaat yang diterima lebih besar dari biaya yang dikeluarkan, biasanya ditunjukkan dengan adanya peningkatan nilai aset. Pemberian pemahaman peningkatan nilai kepemilikan aset dalam bentuk rupiah akan lebih memudahkan penerima manfaat menerima kegiatan konsolidasi. Untuk itu perlu dilakukan penilaian tanah yang dapat memberikan gambaran moneter mengenai nilai tanah yang dikonsolidasi.




Selengkapnya..

Sabtu, 20 Desember 2008

Kadaster 2014: 6 Pernyataan Visi Kadaster Dunia

Kadaster 2014 adalah publikasi yang dihasilkan oleh Jurg Kaufmann dan Daniel Steudler, Ketua dan Sekretaris Kelompok Kerja 7.1 dari Komisi 7 FIG. Publikasi ini menyajikan visi kadaster di masa depan. Publikasi ini diharapkan dapat menjadi tolok ukur keberhasilan (benchmark) di dunia dalam mengukur reformasi dan pengembangan sistem kadasternya. Indonesia sebagai salah satu anggota FIG juga sepatutnya menggunakan bencmark Kadaster 2014 dalam menilai posisi pengembangan sistem kadaster kita.

Kadaster 2014 secara umum menghasilkan 6 (enam) pernyataan yang terkenal tentang visi kadaster dunia pada tahun 2014. Secara umum keenam pernyataan tersebut meliputi missi, organisasi, pengembangan teknis, privatisasi, dan pengembalian biaya dari suatu sistem kadaster.

Pernyataan pertama: Kadaster 2014 menyajikan semua hak dan aspek hukum yang melekat diatas tanah secara lengkap termasuk hak publik dan batasan penggunaan tanah.

Mengingat jumlah tanah yang terbatas, maka seiring dengan bertambahnya penduduk kebutuhan akan tanah pun akan terus meningkat. Untuk itu pembatasan hak atas tanah yang selama ini seringkali bersifat absolut untuk kepentingan publik akan juga semakin meningkat. Dengan demikian, untuk memberikan kepastian hukum atas tanah, seluruh fakta hukum yang terkait dengan tanah harus secara gamblang disajikan dalam suatu sistem kadaster.

Dari pernyataan tersebut secara jelas terlihat bahwa sistem kadaster di tahun 2014 akan memperluas cakupannya dari sekedar menyajikan data bidang tanah dan data hak atas tanah dalam hukum privat seperti pertama kali diperkenalkan sebagai fungsi kadaster tradisional. Mengapa hal ini diperlukan, dengan keterbatasan akan suply tanah membawa kita pada penggunaan tanah secara intensifikasi. Perlindungan terhadap sumber daya alam termasuk tanah dari eksploitasi besar-besaran, kerusakan atau kehancuran mulai didefinisikan melalui zona atau kawasan lindung yang ditetapkan oleh Negara. Jika tanah yang berbatas disebut bidang tanah, maka zona atau kawasan yang ditetapkan untuk membatasi penggunaan tanah dalam kadaster 2014 ini disebut obyek tanah legal.

Kawasan atau obyek tanah legal tersebut biasanya ditetapkan dalam suatu keputusan politik berbentuk peraturan perundangan. Kawasan tersebut jelas sekali memberi dampak kepada kepemilikan atau penguasaan atas suatu bidang tanah. Saat ini meskipun .

Pernyataan kedua: “Pemisahan antara peta dan buku tanah akan berakhir”.
Sebelumnya, sistem administrasi pertanahan pada umumnya terpisah antara Kadaster yang menangani peta dengan pendaftaran tanah yang mengadministrasikan buku tanah. Hal tersebut terjadi lebih karena kendala teknologi dimana penggunaan teknologi manual berbasis kertas dan pena tidak memungkinkan adanya solusi lain.

Pernyataan ketiga adalah “Pemetaan Kadaster akan mati, Modelling akan bertahan”

Di masa datang, peta harus bukan lagi tempat untuk menyimpan informasi. Peta lebih akan berfungsi untuk menyajikan informasi yang tersimpan pada basis data. Atau lebih tepat lagi peta merupakan adalah output dari menggunakan plotter.

Surveyor yang pada masa lalu melakukan dua kegiatan utama kadastral yaitu: pengukuran untuk menentukan lokasi suatu obyek dan melakukan menyimpannya melalui proses pemetaan yaitu penggambaran obyek tersebut di atas peta. Dalam modelling, setelah dilakukan penentuan lokasi suatu obyek dilakukan penghitungan koordinat dan pembuatan model dari obyek sesuai dengan model data yang diterapkan. Hasil dari permodelan obyek tersebut disimpan dalam suatu sistem informasi.

Pernyataan keempat: “Kadaster yang menggunakan kertas dan pensil akan punah”

Penggunaan teknologi komputer akan terus meningkat termasuk dalam kadaster. Untuk pencatatan tekstual, hal ini telah teruji dengan ahampir semua pembukuan di dunia telah mulai menggunakan komputer. Meskipun untuk penanganan data spasial masih memerlukan perangkat lunak yang lebih canggih, di masa datang pun komponen spasial tidak akan lebih dari sekerda atribut yang menjelaskan posisi dan bentuk suatu obyek.

Pernyataan kelima: Kadaster 2014 akan lebih banyak diprivatisasi. Kerja sama sektor swasta dan pemerintah akan semakin erat.

Trend yang terjadi di bidang lain menunjukkan banyak unit pemerintah yang dialihkan ke swasta atau bumn sehingga dapat bekerja dengan lebih fleksibel dan memenuhi tuntutan pelanggan. Demikian pula dalam kadaster. Kita lihat bahwa seringkali kegiatan pengukuran dapat dilakukan oleh swasta dengan hasil yang baik. Bahkan seringkali lebih baik dibanding pemerintah. Kebanyakan pekerjaan dalam pembangunan dan pemeliharaan kadastral dapat dilakukan oleh pihak swasta. Namun demikian bukan berarti pemerintah kehilangan fungsi. Pemerintah tetap wajib menjamin keamanan legal dari sistem administrasi pertanahan. Pemerintah juga masih berkewajiban melakukan monitoring dan pengendalian terhadap sistem yang berlangsung.

Pernyataan keenam: Kadaster 2014 akan menjadi swadana

Selama ini kadaster terbatas penggunaanya hanya untuk keperluan pendaftaran tanah dan transaksi jual beli tanah. Dengan demikian informasi yang ada hanya dinikmati oleh segelintir orang yang akan bertransaksi dengan tanah. Pada saatnya nanti informasi kadaster selain memuat data pendaftaran tanah juga memuat seluruh informasi lain yang terkait dengan tanah. Peminat informasi akan semakin beragam tidak terbatas pada pendaftaran tanah. Dengan tingginya permintaan akan informasi tersebut, diprediksi bahwa fee/biaya yang dikenakan untuk memperoleh informasi dapat mengembalikan biaya pembangunan dan pemeliharaan kadaster itu sendiri.

Selengkapnya..

Efisiensi Pasar Tanah (Land Market)



Pasar tanah dimana masyarakat memiliki kebebasan dalam bertransaksi tanah banyak diyakini akan memberikan kesejahteraan bagi seluruh pelakunya. Namun demikian, pada kenyataannya seringkali keuntungan dalam pasar tanah hanya dinikmati oleh kelompok tertentu. Lebih daripada itu kondisi ini dapat mengakibatkan dampak yang tidak menguntungkan bagi masyarakat secara luas. Jika hal itu terjadi, maka terjadilah kegagalan pasar yang disebabkan oleh kondisi pasar yang kurang efisien.

Sebagai salah satu bentuk aset, tanah merupakan sumber daya pemberian Tuhan yang sangat dahsyat. Setiap kegiatan makhluk hidup di dunia ini bertumpu pada tanah. Bagi manusia, merupakan tempat untuk melakukan semua aktivitas domestiknya. Tanah juga merupakan tempat berpijak bagi manusia untuk berusaha, baik yang berhubungan langsung dengan tanah seperti pertanian dan perkebunan maupun usaha jasa seperti perdagangan. Lebih jauh lagi tanah merupakan sumber produksi di mana seluruh material yang kita hasilkan selalu menggunakan bahan dasar maupun turunan yang berasal dari tanah.

Berangkat dari kebutuhan makhluk hidup terhadap tanah yang sangat tinggi, tidak mengherankan jika tanah memiliki nilai bagi manusia. Nilai tersebut dapat berupa penghargaan terhadap fungsinya, kandungan yang ada dimilikinya, ataupun hal-hal lain yang bersifat abstrak seperti keindahan. Karena tanah memiliki nilai, maka manusia melakukan pertukaran tanah dengan benda atau jasa yang juga memiliki nilai. Hal inilah yang menjadi latar belakang tanah mulai diperlakukan sebagai komoditas. Komoditas adalah sesuatu yang dibutuhkan dan suplainya tersedia di suatu arena yang disebut pasar.

Kita semua paham bahwa tanah memiliki peran sebagai komoditas yang memiliki nilai untuk diperdagangkan di pasar. Pasar untuk tanah sendiri saat ini sulit didefinisikan secara rigid meskipun definisi pasar secara global telah ada dan diakui. Dalam ekonomi, pasar diartikan sebagai sebuah struktur, dalam bentuk apapun, yang memungkinkan penjual dan pembeli melakukan pertukaran barang, jasa, ataupun informasi. Dengan demikian pasar tidak harus diartikan sebagai suatu tempat atau bangunan di mana penjual dan pembeli berkumpul. Kegiatan pertukaran dapat dilakukan di pusat perbelanjaan atau dalam bentuk yang lebih kompleks seperti bursa saham, dapat pula dilakukan dalam bentuk pelelangan, atau bahkan pertemuan informal antara dua individu. Pasar tanah sendiri saat ini lebih banyak dilakukan dalam dua bentuk terakhir yang disampaikan.


Inefisiensi Pasar Tanah

Pada dasarnya, pasar adalah bebas sepanjang tidak ada intervensi dari pemerintah seperti pajak, subsidi, minimum harga, atau plafon harga. Harga dibentuk murni dari hasil negosiasi antara pembeli dan penjual. Pasar yang bebas diyakini lebih efisien dan memberikan kesejahteraan bagi seluruh pelakunya. Namun demikian, pada kenyataannya pasar kadangkala mengalami kegagalan. Kegagalan pasar berupa kondisi di mana individui-individu pelakunya mengejar keuntungan yang berdampak buruk bagi masyarakat secara umum. Kegagalan ini diakibatkan oleh pasar yang kurang efisien.

Kegagalan pasar secara umum dapat disebabkan oleh tiga hal. Yang pertama adalah kompetisi yang tidak sempurna. Sebagai contoh harga di pasar dapat terdistorsi oleh kekuatan-kekuatan pembeli dan penjual berupa monopsoni dan monopoli. Individu-individu tersebut dengan kekuatannya (baik uang maupun produk) dapat melakukan pengaturan harga suatu barang atau jasa. Hal ini dapat berimplikasi buruk terhadap pelaku pasar yang lain dan masyarakat yang membutuhkan barang atau jasa tersebut.

Penyebab kegagalan pasar yang kedua adalah eksternalitas. Eksternalitas adalah dampak tidak langsung –baik dampak menguntungkan maupun merugikan- yang ditimbulkan oleh aktivitas ekonomi. Eksternalitas terjadi jika kegiatan ekonomi menghasilkan biaya tambahan atau keuntungan tambahan bagi pihak ketiga yang tidak terlibat langsung dari suatu transaksi kegiatan ekonomi. Sebagai contoh produksi rokok dapat mengakibatkan biaya ekstra gangguan kesehatan bagi orang lain yang bukan penjual dan pembeli rokok. Di sisi lain pembangunan hutan wisata akan menghasilkan ekstra keuntungan yaitu ketersediaan oksigen yang lebih baik bagi masyarakat sekitar. Dengan kata lain penjual dan pembeli tidak mengeluarkan uang untuk biaya ekstra ataupun menerima uang dari keuntungan tambahan yang ditimbulkan.

Dalam keadaan seperti ini biasanya produk barang dan jasa yang meinumbulkan biaya tambahan kepada masyarakat akan diproduksi secara besar-besaran.. Hal ini dapat dimengerti karena penjual dan pembeli tidak perlu menanggung biaya tersebut. Masyarakat atau pihak ketiga lah yang menanggung beban itu. Sebagai contoh kegiatan transaksi tanah yang bertujuan mengkonversi lahan dari lahan pertanian menjadi perumahan atau peruntukan komersial. Kegiatan seperti ini banyak dijumpai. Mengapa? Yang pertama adalah keuntungan ekonomi akibat konversi tersebut. Hal lain adalah pelaku transaksi bebas dari biaya eksternalitas yaitu dampak negatif berupa berkurangnya kualitas lingkungan bahkan ketahanan pangan. Biaya ekstra ini harus ditanggung oleh masyarakat karena tidak dibayar atau dibebankan pada pelaku transaksi.

Sebaliknya, konversi lahan pertanian untuk hutan wisata sangat jarang terjadi. Hal ini karena pelaku pasar mengetahui bahwa selain untuk keperluan wisata, kawasan tersebut juga memiliki manfaat lain seperti peningatan kualitas udara dan pencegahan terhadap bahaya banjir. Sementara itu mereka tidak memperoleh keuntungan atau bayaran dari eksternalitas yang dihasilkan dari masyarakat yang diuntungkan. Akibatnya timbul sifat apatis berupa keengganan untuk melakukan transaksi atau kegiatan serupa.

Penyebab inefisiensi pasar yang ketiga adalah informasi yang asimetris. Maksudnya, salah satu pihak yang bernegosiasi di pasar memiliki informasi yang berhubungan dengan barang yang diperdagangkan sementara pihak lain tidak. Ketidaksamaan informasi ini dapat mengakibatkan keuntungan bagi salah satu pihak dan kerugian bagi pihak yang lain. Misalnya seseorang yang berniat menjual tanah, tetapi tidak mengetahui harga transaksi yang terjadi pada beberapa waktu terakhir. Maka si penjual berpotensi mengalami kerugian dibandingkan calon pembeli yang telah memiliki informasi tersebut. Kerugian penjual terjadi akibat tidak dimilikinya informasi yang berakibat ketidakmampuannya untuk memperoleh harga yang adil sesuai kehendak pasar yang efisien.

Lebih jauh lagi, informasi yang asimetris dapat mengakibatkan biaya transaksi yang lebih tinggi. Biaya ini terjadi karena adanya kebutuhan akan jasa broker atau perantara. Biaya tersebut adalah beban yang harus dibayar untuk kebutuhan informasi mengenai keadaan harga pasar yang sesungguhnya di samping informasi mengenai calon pembeli atau penjual. Kedua kondisi tersebut merupakan potensi penyebab dari inefisiensi pasar yang pada gilirannya akan mengakibatkan kegagalan pasar.

Menuju Pasar Tanah yang Efisien

Ketiga penyebab umum kegagalan pasar tanah di atas perlu diantisipasi dengan kebijakan yang mendorong terciptanya pasar tanah yang efisien. Meningkatnya kompetisi di pasar tanah, kebijakan yang dapat mengakomodasi eksternalitas, dan diseminasi informasi pasar tanah adalah sasaran umum yang harus dicapai.

Kondisi penguasaan tanah di Indonesia saat ini lebih dari 50% atau tepatnya 56% dikuasai oleh kurang dari 20%, bahkan menurut Kepala BPN RI hanya dimiliki oleh 1% dari jumlah penduduk Indonesia. Angka ini berpotensi mengakibatkan inefisiensi pasar. Individu atau perusahaan yang jumlahnya relatif lebih sedikit akan memiliki posisi tawar di pasar yang lebih tinggi. Dampaknya harga-harga yang ditawarkan oleh developer atau pengembang baik perumahan, lahan komersial, maupun perkebunan dapat ditentukan sepihak oleh mereka yang menguasai tanah dalam jumlah besar.

Dampak lain yang dikhawatirkan adalah pemanfaatan tanah yang dikuasai tidak optimal atau idle. Mestinya setiap tanah dimanfaatkan sebesar-besar untuk keperluan sebagian besar masyarakat yang lebih membutuhkannya untuk berusaha. Namun jika kepemilikan tanah hanya dikuasai oleh segelintir individu, potensi untuk meng-hold tanah hingga harga tertentu yang ingin dicapai dapat dilakukan. Hal ini dilakukan demi mengejar keuntungan pemilik tanah yang bermodal besar. Akibatnya harga tanah akan melambung sesuai harga yang diinginkan pemilik tanah, sementara pemanfaatannya saat ini tidak optimal.

Perlu dicari cara untuk mendistribusikan tanah agar menjadi milik sebagian besar masyarakat sehingga tingkat kompetisi di pasar tanah semakin tinggi. Reforma Agraria yang dicanangkan oleh pemerintah saat ini merupakan kebijakan yang sejalan dengan hal tersebut. Pendistribusian kepada para petani atau masyarakat miskin tanah-tanah yang berasal dari hutan konversi maupun tanah perkebunan besar yang terlantar merupakan langkah tepat. Diharapkan tingkat perbandingan antara jumlah bidang tanah dan jumlah pemilik tanah mendekati seimbang sehingga mendorong terciptanya pasar yang lebih efisien.

Dari sisi eksternalitas, perlu dilakukan suatu kajian yang mendalam untuk mendorong pasar agar lebih efisien. Untuk pasar tanah dengan kondisi eksternalitas negatif perlu dilakukan penyesuaian harga dalam setiap kegiatan transaksinya. Konversi hutan menjadi perkebunan misalnya, akan mengurangi ketersediaan oksigen, menurunkan peran pentingnya dalam menahan banjir, serta daya dukungnya bagi ekologi yang ada. Masyarakat juga harus mengeluarkan biaya tambahan untuk menjaga kesehatan karena udara menjadi lebih rendah kualitasnya. Demikian pula jika terjadi bencana alam seperti banjir. Masyarakat di sekitar menanggung kerugian harta benda ataupun nyawa jika bencana banjir terjadi.

Saat ini, perusahaan atau individu yang melakukan transaksi pembelian tanah dalam jumlah besar hanya membayar harga tanah yang diperolehnya. Tidak ada uang yang mereka keluarkan untuk biaya eksternalitas negatif tersebut. Hal ini akan mendorong terjadinya perubahan besar-besaran yang berdampak buruk terhadap masyarakat akibat inefisiensi pasar.

Penilaian terhadap besarnya eksternalitas negatif akibat kegiatan di pasar tanah disebut penilaian ekonomi kawasan. Saat ini, besarnya biaya eksternalitas dapat diketahui melalui berbagai pendekatan penilaian ekonomi dan ekologi yang sudah diakui secara internasional. Selanjutnya perlu kajian lebih lanjut mengenai beban biaya yang harus ditanggung oleh pelaku transaksi sehingga potensi kegagalan pasar dapat diredam.

Hal terakhir yang perlu dicermati dalam mendukung terciptanya pasar tanah yang efisien adalah adanya sistem informasi pasar tanah. Sistem informasi ini sekurang-kurangnya memuat informasi mengenai transaksi yang pernah terjadi di suatu wilayah. Pemetaan data transaksi (yang mulai dilaksanakan di BPN tahun 2008 ini) menjadi suatu infrastruktur yang mutlak dilakukan. Setiap transaksi yang didaftarkan di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota wajib dipetakan dalam suatu sistem informasi spasial.

Sistem informasi tersebut akan sangat berguna bagi pelaku pasar. Calon pembeli atau investor di bidang pertanahan bisa mendapatkan gambaran awal tentang penyebaran data transaksi. Penyebaran tersebut dapat menggambarkan konsentrasi atau penyebaran pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Di wilayah yang banyak terjadi transaksi memberikan gambaran tentang pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibanding wilayah yang lain.

Kegunaan yang lain adalah informasi harga transaksi tersedia bagi pelaku pasar untuk mempermudah pengambilan keputusan. Calon pembeli maupun penjual dapat mengetahui harga transaksi yang dilaporkan dalam beberapa tahun terakhir. Dengan adanya informasi pasar tersebut, pelaku dapat memperoleh masukan tambahan yang sama dan simetris tentang informasi harga pasar.

Catatan Akhir

Pasar tanah sempurna yang bebas dan efisien membutuhkan waktu untuk diwujudkan. Namun demikian upaya menuju ke arah yang diinginkan tersebut harus selalu dilakukan. Tiga hal inti yaitu persaingan yang sehat, penanganan eksternalitas, dan kesamaan kemudahan memperoleh informasi dari pelaku pasar harus selalu menjadi dasar dalam perbaikan menuju pasar tanah efisien.


Selengkapnya..

Biaya Transaksi Jual Beli Tanah

Kita semua pada suatu waktu tentu akan melakukan transaksi yang menyangkut tanah. Transaksi tersebut dapat berarti menjual atau membeli sebidang tanah. Tulisan ini memuat informasi mengenai biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh penjual dan pembeli dalam bertransaksi diluar harga tanah yang harus dibayarkan. Secara umum biaya transaksi jual beli tanah meliputi (1) biaya pengecekan sertifikat tanah, (2) pajak penghasilan, (3) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), (4) biaya pembuatan akta PPAT dan (5) biaya pendaftaran peralihan hak.

Biaya yang harus dikeluarkan dalam melakukan transaksi jual beli tanah adalah:

1. Biaya Pengecekan Sertifikat Tanah
Pengecekan sertifikat tanah dilakukan di Kantor Pertanahan Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat. Pengecekan sertifikat tidak lain adalah memperoleh informasi untuk memastikan sertifikat tanah yang ada adalah sertifikat asli yang dikeluarkan oleh BPN dan terdaftar dengan baik. Tergantung dari jumlah informasi yang diperlukan. Biaya perolehan untuk setiap informasi per lembar adalah Rp. 25.000,-. Penjual atau pembeli setidaknya mengecek informasi tentang dua hal. Yang pertama adalah informasi tentang pendaftaran tanah yang diperoleh dari buku tanah dan informasi tentang data fisik bidang tanah yang diperoleh dari surat ukur. Tergantung kebutuhannya biaya ini biasanya dibayarkan oleh calon pembeli yang lebih berkepentingan.

2. Pajak Penghasilan (PPh)

Pajak ini wajib dibayarkan oleh si penjual. Nama lengkapnya adalah Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Besarnya secara umum adalah 5% dari besarnya harga jual tanah (transaksi) tanah. Jadi jika seseorang menjual tanahnya seharga Rp. 100 juta, ia berkewajiban membayar PPh sebesar 5% nya atau Rp. 5 juta.

Terdapat beberapa pengecualian untuk tidak membayar PPh yaitu
a. Nilai transaksi lebih rendah dari 60 juta.
b. Penjualan dilakukan dalam rangka pembebasan tanah untuk kepentingan umum.
c. Hibah kepada keluarga sedarah
d. Warisan

Penjual wajib membayar sendiri pajak penghasilan ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro sebelum akta jual beli ditandatangani. Dalam hal ini disarankan agar penjual melakukan pembayaran sendiri dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) tanpa diwakilkan atau dititipkan untuk memastikan bahwa uang yang disetorkan diterima oleh Negara.

3. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Biaya ini wajib dibayarkan oleh si pembeli. BPHTB adalah bea yang harus dibayarkan akibat diperolehnya suatu hak atas tanah oleh seseorang. Secara umum Besar biaya yang harus dibayarkan adalah 5% dari besarnya harga jual tanah kena pajak (Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak). Besarnya Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak adalah harga jual tanah dikurangi dengan Nilai Perolehan tidak kena pajak. Nilai tidak kena pajak tersebut maksimum Rp. 60.000.000,- dan ditetapkan secara regional.
Secara sederhana besarnya BPHTB = 5% x (NPOP - NPOP TKP).

Sebagai contoh jika harga transaksi jual beli adalah Rp. 100 juta. Di Propinsi DKI Jakarta besarnya NPOPTKP adalah Rp. 60 juta. Maka besarnya BPHTB:

BPHTB = 5% x (Rp. 100juta – Rp. 60 juta)
= 5% x Rp. 40 juta
= Rp. 2 juta.


4. Biaya Pembuatan Akta PPAT

Biaya ini adalah untuk pembuatan akte jual-beli. Tergantung kesepakatan, biaya ini dapat ditanggung oleh pembeli, penjual ataupun keduanya. Besarnya biaya maksimum adalah 1% (satu persen) dari harga transaksi.

5. Biaya Pendaftaran Peralihan Hak (Balik Nama)

Biaya balik nama dibayarkan oleh pembeli pada saat pendaftaran peralihan hak di Kantor Pertanahan BPN. Kegiatan pendaftaran balik nama dilakukan setelah akta jual beli ditandatangani dan disahkan oleh PPAT. Tujuannya adalah agar nama pembeli dapat didaftar sebagai pemilik yang tertera di sertifikat tanah. Besarnya biaya yang harus dibayarkan adalah Rp. 25.000.
Selengkapnya..

Rabu, 26 November 2008

Good News: DKI Jakarta tak ada lagi Sertifikat Ganda


10 November lalu Kompas.com menurunkan artikel berjudul BPN DKI Jamin Tak Ada Lagi Sertifikat Ganda. Hal ini menunjukkan komitmen Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam melindungi hak-hak warganya dalam memiliki tanah. Dalam hal ini BPN Kanwil Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta telah menyiapkan peta tunggal yang mencakup seluruh wilayah Jakarta. Dengan demikian di masa datang sertifikat ganda dapat tidak akan terjadi lagi.

Apakah itu peta tunggal? Berbeda dengan wilayah lain yang tidak memiliki peta, DKI justru sebaliknya. Mengingat wilayah tersebut merupakan daerah prioritas maka Pemerintah DKI beberapa kali membuat peta. Hal ini dilakukan mengingat pertumbuhan kota nya yang cepat sehingga perlu dilakukan updating. Dengan demikian di wilayah tersebut terdapat peta dengan berbagai edisi tahun.
Sayangnya updating peta yang dilakukan tidak diikuti dengan updating data tanah yang bersertifikat. Dengan demikian pada peta dengan edisi yang lebih baru tidak ada data tentang tanah yang telah bersertifikat sebelumnya. Padahal bidang tanah tersebut telah tergambar pada peta edisi sebelumnya. Dalam kasus tersebut, jika terjadi pendaftaran baru petugas akan memetakan pada peta edisi terakhir dimana belum ada tanah bersertifikat di peta tersebut. Hal ini lah yang menjadi potensi terbitnya sertifikat ganda.
Oleh karena itu, seperti kita baca pada tulisan kompas.com diatas, saat ini BPN DKI telah berhasil menggabungkan peta-peta yang terdiri dari bermacam-macam edisi menjadi peta yang tunggal. Peta ini telah menggabungkan seluruh bidang tanah bersertifikat yang telah dipetakan sebelumnya ke dalam peta edisi terakhir. Suatu upaya yang besar dan patut diapresiasi setinggi-tingginya. Ke depan, masyarakat yang mendaftar tanahnya akan terlindungi dari potensi sertifikat ganda.
Untuk lebih membantu semakin amannya bidang tanah di DKI dari kemungkinan sertifikat ganda, peran serta masyarakat masih diperlukan. Setiap pemilik sertifikat, terutama yang terbit pada masa lebih dari 10 tahun lampau, agar tetap melakukan pengecekan ke kantor BPN setempat.
Hal ini perlu dilakukan terkait dengan 2 hal. Yang pertama adalah proses penyatuan peta tunggal merupakan proses yang dilakukan melalui konversi peta menjadi peta digital dan melakukan transformasi peta ke dalam sistem proyeksi peta edisi terakhir. Dalam setiap proses konversi dan transformasi kemungkinan ditemui beberapa kesalahan kecil. Hal ini merupakan konsekuensi wajar dari proses tersebut.
Hal yang kedua adalah untuk bidang-bidang tanah yang sertifikatnya lahir pada saat peta belum tersedia di DKI. Tanah tersebut praktis belum dipetakan di BPN. Kasus ini seperti ini tidak dapat diatasi dengan proses pembuatan peta tunggal secanggih apapun. Solusi untuk kasus ini adalah proses yang disebut dengan graphical index mapping.
Dengan kedua alasan diatas, masyarakat pemilik sertifikat agar membantu upaya yang dilakukan BPN dengan cara menghubungi kantor BPN setempat untuk (1) memastikan bahwa tanahnya telah dipetakan dan (2) memastikan bahwa tanahnya telah dipetakan pada posisi yang benar setelah proses konversi dan transformasi dalam membuat peta tunggal.
Selengkapnya..

Rabu, 19 November 2008

Bagaimana sertifikat tanah ganda dapat terjadi?

Sertifikat ganda adalah kejadian dimana sebidang tanah memiliki 2 (dua) sertifikat tanah yang dimiliki oleh 2 (dua) orang yang berbeda.
Secara prinsip setiap bidang tanah memiliki posisi yang tunggal di belahan bumi ini. Tidak ada 2 (dua) bidang tanah yang memiliki posisi yang sama. Dengan demikian setiap bidang tanah yang telah bersertifikat atau terdaftar di Badan Pertanahan Nasional (BPN) seharusnya mendapat perlindungan terhadap pendaftaran yang sama atas bidang tanah tersebut.
Perlindungan diatas dapat diberikan jika setiap sertifikat atas tanah yang terbit diketahui dengan pasti letak atau lokasinya di muka bumi. Dengan demikian setiap usaha untuk mensertifikatkan tanah yang sama dapat segera diketahui dan dicegah oleh BPN. Namun demikian seperti saya jelaskan pada posting terdahulu mengenai “Mengapa ada tanah bersertifikat yang tidak diketahui letaknya”, masih ada tanah bersertifikat yang tidak diketahui lokasinya yang disebabkan oleh ketidaktersediaan peta. Padahal peta adalah informasi yang menggambarkan letak seluruh bidang tanah di permukaan bumi.
Jika sebuah sertifikat yang diterbitkan tidak dipetakan dalam sebuah peta akibat tidak adanya sarana pada saat itu, maka bidang tanah itu memiliki potensi untuk lahir sertifikat ganda. Dalam hal seseorang dengan bukti-bukti tanah yang meyakinkan meminta pembuatan sertifikat di BPN, maka tidak ada tools yang kuat untuk mencegah lahirnya sertifikat ganda.
Ilustrasinya sebagai berikut: Petugas BPN akan meneliti data fisik bidang tanah yang diminta untuk kedua kalinya tersebut dengan melakukan pengukuran bidang tanah. Pada saat pengukuran, petugas akan meminta pemohon sertifikat untuk menunjukkan batas-batas bidang tanahnya. Akan lebih baik jika diketahui dan dikonfirmasi oleh pemilik tanah yang bersebelahan. Pada poin ini pembuatan sertiffikat ganda akan tersandung jika pemegang sertifikat tanah menempati tanah tersebut. Sebaliknya jika tanah tersebut tidak ditempati atau diterlantarkan maka praktek ini akan lebih mulus melaju tanpa terdeteksi.
Langkah kedua adalah petugas melakukan pemetaan hasil pengukuran ke dalam peta. Setelah posisi bidang tanah hasil ukuran dapat diketahui letaknya, petugas akan mengecek apakah pada posisi yang sama telah diterbitkan sertifikat hak atas tanahnya. Jika ternyata ada, petugas akan memblokir kegiatan penerbitan sertifikat baru yang disinyalir ganda. Sayangnya jika bidang tanah bersertifikat terdahulu belum dipetakan, petugas akan mengatakan bahwa pada posisi tersebut adalah posisi bebas. Jika ini yang terjadi proses ini akan terus berlanjut hingga penelitian data yuridis termasuk pengumuman terhadap publik bahwa akan diterbitkan sertifikat atas tanah tersebut.
Jika sekali lagi hasil penelitian data yuridis menunjukkan bahwa tidak ada masalah dan tidak claim dari masyarakat (termasuk pemegang sertifikat terdahulu), maka BPN akan menerbitkan sertifikat tanah (lagi) atas bidang tanah yang sama. Terjadilah sertifikat ganda atau tumpang tindih atau overlap yang tidak disadari oleh pemegang sertifikat pertama, BPN dan (kadang-kadang) pemegang sertifikat kedua.
Bagaimana upaya kita selaku pemegang sertifikat tanah agar tidak timbul sertifikat ganda. Yang Pertama adalah berupaya menggunakan tanah yang kita miliki. Jika tidak untuk ditinggali, maka pastikan digunakan untuk kebutuhan lain atau sekurang-kurangnya dilindungi dalam bentuk pagar keliling.
Hal yang kedua adalah bagi para pemegang sertifikat tanah yang penerbitannya sebelum 1997 agar datang ke BPN untuk memastikan bahwa bidang tanah yang tertera di sertifikat telah dimasukkan ke dalam peta pendaftaran BPN. Jika ternyata bidang tanah tersebut belum masuk ke dalam peta BPN, mintalah petugas ukur BPN untuk datang ke lokasi bidang tanah dimaksud untuk melakukan pemetaan atau yang secara teknis disebut Graphical Index Mapping (GIM)
Selengkapnya..

Senin, 17 November 2008

Standar Penilaian Tanah Untuk Pemberian Ganti Rugi: Sarana untuk mempercepat pengadaan tanah melalui penilaian ganti rugi yang lebih adil dan transpar


1 Current Practice

1.1 Pemberian ganti rugi bagi kepentingan umum seringkali menjadi masalah berlarut-larut sehingga menyebabkan tertundanya pembangunan. Dapat dibayangkan besarnya kerugian dari pemerintah maupun masyarakat akibat bertahun-tahun tertundanya Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta yang menghubungkan Jalan Tol Jagorawi dan Jalan Tol Jakarta-Cikampek. Berapa pula kerugian yang diderita masyarakat akibat banjir yang melanda sebagian wilayah Jakarta karena pembangunan Banjir Kanal Timur hingga saat ini belum dapat direalisasikan akibat pengadaan tanah yang tersendat. Pemberian ganti rugi yang dirasa tidak adil dan tidak memiliki standar yang baku setidaknya memberikan kontribusi bagi permasalahan diatas. Akibatnya muncul anekdot bahwa ganti rugi dalam pengadaan tanah adalah kompensasi yang menyebabkan pemilik tanah menderita kerugian akibat kompensasi yang diberikan lebih kecil dibanding kerugian ekonomis yang ditanggung oleh pemilik tanah.

1.2 Standar kita saat ini yang mengatur tentang penilaian tanah masih sangat minimal. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 jo 65 Tahun 2006 menegaskan bahwa ”Dasar perhitungan besarnya ganti rugi (atas nilai tanah) didasarkan atas Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh panitia; Tidak dijelaskan apakah nilai nyata/sebenarnya itu. Apakah itu nilai pasar? Bagaimana memperolehnya sehingga Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah dapat melaksanakan dengan standar yang sama juga tidak dijelaskan.

1.3 Namun demikian saat ini sudah diatur lebih lanjut pada Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2007 bahwa untuk menentukan nilai nyata/sebenarnya dapat berpedoman pada variabel-variabel seperti lokasi dan letak tanah, status tanah, peruntukan tanah, kesesuai penggnaan tanah dengan rencana tata ruang wilayah atau perencaan ruang wilayah atau kota yang telah ada; sarana dan prasarana yang tersedia dan faktor lainnya yang mempengaruhi harga tanah. Jika kita kaitkan variabel untuk menentukan nilai nyata/sebenarnya tersebut dengan teori yang ada, maka dapat disetarakan bahwa yang dimaksud dengan nilai nyata/sebenarnya adalah nilai pasar.

1.4 Diluar hal tersebut dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 jo 65 Tahun 2006 Pasal 1 butir 11 didefinisikan bahwa ganti rugiadalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan/atau nonfisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah. Ada dua hal yang menarik disini, yang pertama adalah diperkenalkan ganti rugi yang bersifat non-fisik. Namun sayangnya dalam penjelasan dan pasal-pasal berikutnya tidak di deskripsikan lebih lanjut mengenai ganti rugi non-fisik. Apakah ganti rugi non-fisik hanya meliputi kerugian yang bersifat ekonomi baik berupa biaya-biaya yang harus dikeluarkan dan kehilangan pendapatan dari pemilik tanah karena adanya pengadaan tanah? Ataukah juga meliputi kehilangan atau kerugian lain yang bersifat emosionil seperti hubungan sejarah atau hubungan kekeluargaan dengan tanah? Seberapa jauh ruang lingkup dari ganti rugi non-fisik dan seberapa besar ganti rugi yang diberikan harus diatur dalam standar yang jelas sehingga Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah dapat memiliki referensi yang sama dalam melakukan penilaian.

1.5 Hal yang kedua adalah statement bahwa ganti rugi seyogyanya dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkah kehidupan sosial ekonomi sebelumnya. Hal ini adalah statement yang mulia, bahkan lebih mulia dibanding statement negara-negara maju tentang konsep kompensasi. Di Swedia dalam Expropriation Act nya menjelaskan bahwa Prinsip utama pemberian kompensasi adalah posisi ekonomi yang sama dalam keadaan seolah-olah pengadaan tanah tidak pernah terjadi. Meskipun pada umumnya pada prakteknya pada saat negosiasi sering terjadi bahwa kompensasi yang diberikan sedikit lebih tinggi hal itu dikarenakan untuk menghindari waktu pengadaan yang lama dan menghindari biaya litigasi di pengadilan yang cukup tinggi. Bagaimana kelangsungan hidup yang lebih baik diterapkan dalam pemberian ganti rugi adalah tantangan yang harus dijawab, sekurang-kurangnya dalam sebuah standar penilaian ganti rugi.

1.6 Hal ini sekaligus untuk menjawab tuntutan dalam Peraturan Ka BPN 3/2007 yang baru terbit bahwa untuk menjadi Lembaga Penilai harga Tanah diperlukan lisensi oleh BPN. Dengan adanya standar penilaian yang baku dan transparan akan membuat Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang akan melaksanakan penilaian tanah tersebut dapat selalu menjaga keseragaman, keobyektifitasan dan kemandirian.

2 Telaahan

2.1 Penilaian Ganti Rugi Fisik

2.1.1 Nilai Fisik

2.1.1.1 Nilai fisik disini dalam ruang lingkup tulisan ini adalah Nilai dari fisik tanah. Kita mulai disini dengan membahas pasal 15 Perpres 65/2006 tentang definisi dari nilai nyata/sebenarnya. Apakah nilai nyata/sebenarnya itu? Nilai nyata/sebenarnya disini mungkin dimaksudkan sebagai harga yang nyata atau sebenarnya dari transaksi yang pernah terjadi terhadap bidang tanah yang terkena pengadaan tanah atau bidang tanah lain di sekitar bidang tanah tersebut.

2.1.1.2 Dalam banyak hal ini nilai nyata/sebenarnya itu dapat diduga dengan mudah sebagai nilai pasar. Nilai Pasar dalam Standar yang dikeluarkan baik oleh International Valuation Standar maupun Standar Penilaian Indonesia menyebutkan bahwa Nilai Pasar adalah estimasi sejumlah uang pada tanggal, yang dapat diperoleh dari transaksi jual beli atau penukaran suatu properti, antara pembeli yang berniat membeli dan penjual yang berniat menjual, dalam suatu transaksi bebas ikatan, yang pemasarannya dilakukan secara terbuka dan layak, dimana kedua belah pihak masing-masing bertindak atas dasar pemahaman yang dimilikinya, kehati-hatian, dan tanpa paksaan;

2.1.1.3 Didalam standar tersebut pula dijelaskan bahwa Nilai Pasar wajib menggunakan prinsip highest and best use. Dimana nilai pasar diturunkan dari penggunaan tertinggi dan terbaik dari sebidang tanah dengan memperhatikan 4 (empat) asas, yaitu: sebagai penggunaan yang dimungkinkan secara fisik, diijinkan secara hukum, layak secara finansial, dan menghasilkan pendapatan paling tinggi; Kempat hal tersebut dalam kondisi pasar yang transparan dan efisien akan direfleksikan di dalam nilai pasar yang diperoleh dari harga nyata/sebenarnya terhadap transaksi yang terjadi. Namun demikian perlu dicermati bahwa kondisi highest and best use setelah terjadinya pembangunan untuk kepentingan umum kemungkinan berbeda dibanding dengan kondisi sebelumnya. Dalam hal ini perlu adanya standar apakah perhitungan untuk memperoleh nilai pasar didasarkan pada kondisi highest and best use sebelum atau setelah pengadaan tanah.

2.1.1.4 Dalam beberapa pengalaman dari beberapa negara, terdapat kesamaan konsep utama dalam pemberian ganti rugi dalam pengadaan tanah. Konsep tersebut adalah setiap pihak yang terkena pengadaan tanah haruslah memiliki posisi ekonomi yang sama dengan sebelum terkena pengadaan tanah. Hal ini merupakan konsep yang cukup adil mengingat jika kondisi penggunaan setelahnya menjadi lebih buruk akan merugikan bagi penerima ganti rugi dan sebaliknya jika kondisi penggunaan setelahnya lebih baik pemerintah atau pemberi ganti rugi akan dirugikan. Jika konsep ini akan diterapkan, berarti penilaian tanah didasarkan atas kondisi seolah-olah tidak terjadi pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Atau dengan kata lain, penerapan highest and best use didasarkan pada kondisi sebelum ditetapkannya daerah tersebut sebagai daerah yang terkena pembangunan. Dengan ditetapkannya standar tersebut akan memudahkan bagi lembaga/tim penilai harga tanah dalam menentukan dasar yang digunakan dalam penilaian tanah.

2.1.2 Nilai Fisik yang terkena sebagian

2.1.2.1 Dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum sangat sering dijumpai bahwa tanah yang terkena oleh proyek pembangunan hanya merupakan sebagian dari bidang tanah yang bersangkutan. Akan tidak menjadi masalah jika pelaksana pembangunan memiliki dana yang cukup untuk mengadakan seluruh bagian dari sebidang tanah yang mungkin tidak diperlukan. Namun demikian faktanya adalah pelaksana pembangunan seringkali hanya memerlukan tanah yang diperlukan. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan tanah sisa akibat pengadaan tanah. Semua berharap bahwa tanah sisa tersebut masih optimal untuk digunakan sesuai dengan peruntukannya. Namun seringkali tanah sisa tersebut memiliki bentuk, akses, letak, luas dan hal lain yang menjadikan tanah tersebut tidak optimal untuk digunakan. Tentu saja keadaan tersebut akan berdampak dengan turunnya nilai pasar tanah sisa setelah pembangunan.

2.1.2.2 Untuk itu perlu diatur standar bagaimana melakukan penilaian ganti rugi terhadap tanah yang hanya terkena sebagian dalam pengadaan tanah. Dalam hal ini penilaian difokuskan pada berapa nilai kerugian yang diderita oleh pemilik tanah akibat penurunan kemampuan optimal penggunaan tanah sisa akibat terpotong oleh pengadaan tanah. Terdapat beberapa metoda dalam penilaian kerugian akibat tanah sisa tersebut, namun secara umum besarnya kerugian dapat diperoleh dengan mengurangkan nilai pasar tanah sisa sebelum pengadaan tanah dengan nilai pasar tanah dalam kondisi highest and best use setelah pembangunan. Jika hasil pengurangannya adalah bilangan positif berarti terdapat kerugian yang diderita oleh pemilik suatu bidang tanah.

2.1.2.3 Namun demikian terdapat permasalahan lain yang harus juga dijawab. Bagaimana jika nilai tanah sisa setelah pembangunan lebih tinggi dibanding nilai tanah sebelumnya? Dalam kasus ini pemilik tanah memperoleh keuntungan terhadap tanah sisa yang dimiliki akibat perubahan kondisi yang lebih baik. Apakah keuntungan ini harus dibayarkan oleh pemilik tanah baik dalam bentuk tunai ataupun dalam bentuk pengurangan terhadap nilai ganti rugi tanah yang terkena?
2.1.2.4 Di jurisdiksi yang memiliki konsep dimana setiap orang memiliki posisi ekonomi yang sama sebelum dan sesudah pengadaan tanah menetapkan bahwa keuntungan yang diterima pemilik tanah tersebut diperhitungkan dalam penilaian ganti rugi. Namun jika kita bermaksud untuk melaksanakan amanat Peraturan Presiden tentang pengadaan tanah untuk memberikan kehidupan yang lebih baik, maka perlu dibuat standar bahwa Pemerintah akan membayar ganti rugi yang diderita akibat penurunan nilai tanah sisa namun tidak akan memperhitungkan keuntungan yang diperoleh pemilik akibat kondisi lingkungan yang membaik akibat pembangunan.

2.2 Ganti Rugi Non-Fisik

2.2.1 Terdapat beberapa kerugian (selain juga keuntungan) yang ditimbulkan akibat pengadaan tanah. Kerugian tersebut bukan merupakan kerugian akibat nilai jual tanah tersebut. Kerugian yang dimaksud adalah kehilangan atas kenyamanan yang selama ini diperoleh dengan tinggal ataupun berusaha di atas tanah tersebut. Secara umum, kerugian tersebut dapat dibagi sebagai kerugian dari sisi finansial ataupun ekonomi maupun kerugian yang bersifat emosional.

2.2.2 Kerugian finansial dapat dilihat sebagai biaya yang harus dikeluarkan oleh pemilik tanah akibat keharusan untuk hengkang dari tempat yang ditinggalinya. Jika diasumsikan setiap pemilik tanah harus membeli tanah baru sebagai pengganti, dia harus mengeluarkan biaya dan bea dalam perolehannya. Sesuatu yang dia harus bayarkan untuk memperoleh tanah dengan nilai yang setara. Biaya dan bea perolehan yang besarnya sekitar 5% dari nilai tanah wajib diberikan sehingga pemilik tanah dapat memperoleh tanah pengganti yang setara nilainya. Ada langkah lain yang dapat ditempuh sebagai solusi tanpa memberikan ganti rugi yaitu dengan memberi kebebasan pajak pada pemilik tanah yang akan membeli tanah pengganti di kemudian hari.

2.2.3 Jumlah biaya yang seharusnya juga diperhitungkan dalam pemberian ganti rugi adalah biaya untuk mobilisasi dari tempat lama ke tempat baru. Hal ini ditambah lagi dengan biaya untuk hunian sementara menunggu tempat tinggal yang baru siap untuk dihuni. Biaya-biaya tersebut seharusnya diberikan sehingga pengorbanan untuk bersedia repot-repot pindah demi pembangunan umum tidak perlu ditambah dengan repot-repot merogoh kocek sendiri untuk keperluan biaya pindah dan hunian sementara. Selanjutnya yang perlu didiskusikan tersendiri adalah seberapa jauh biaya pindah yang memperoleh biaya kompensasi, demikian pula seberapa lama biaya sewa rumah yang akan menjadi kompensasi yang adil.

2.2.4 Diluar hal tersebut, kerugian finansial dapat pula dipandang sebagai hilangnya pendapatan akibat usahanya yang terhenti beberapa saat selama masa pemindahan ke tempat yang baru. Terdapat beberapa yang harus diputuskan dalam memberikan kerugian akibat kehilangan pendapatan.

2.2.5 Pertama, apakah pendapatan tersebut merupakan pendapatan yang tercatat. Karena kebanyakan usaha di Indonesia adalah usaha yang tidak tercatat jika dilakukan oleh non-perusahaan. Sebagai contoh adalah Warung tradisional dan pertanian padi. Keduanya, jika dilaksanakan oleh perorangan tidak ada yang memiliki pembukuan mengenai pendapatan. Secara formal akan sulit bagi penilai untuk menentukanbesarnya pendapatan jika tidak tercatat, sedangkan di satu sisi usaha perorangan seperti itu telah terbukti sebagai penopang roda perekonomian pada krisis moneter lalu.

2.2.6 Selanjutnya adalah apakah yang diberikan pendapatan kotor ataukah pendapatan bersih. Pemberian kompensasi sebaiknya berdasarkan pada pendapatan bersih mengingat bagi pemilik usaha tersebut kehilangan kenyamanannya adalah kehilangan pendapatan bersih setelah dikurangi biaya operasional. Jika disepakat, hal yang perlu ditetapkan adalah untuk berapa lama kompensasi kehilangan pendapatan bersih diberikan. Apakah suatu usaha yang dipindahkan ke tempat lain dapat pulih dalam 6 bulan atau 1 tahun atau bahkan 2 tahun? Penilai dapat menentukan besarnya pendapatan bersih dengan kompetensinya namun Pemerintah tetap harus menetapkan lamanya kehilangan pendapatan yang diberikan kompensasi sehingga penilai memiliki standar untuk keluar dengan nilai kompensasi.

3 Penutup

Besarnya pemberian ganti rugi yang selama ini disinyalir sebagai salah satu kontributor masalah dalam pengadaan tanah harus segera diakhiri. Salah satu upayanya adalah menetapkan suatu standar tentang kerugian apa saja yang diberikan kompensasi serta standar yang mengatur bagaimana pelaksanaannya. Standar tersebut diharapkan tidak hanya berfungsi sebagai refererensi bagi lembaga/tim penilai harga tanah dalam melaksanakan tugasnya secara independen, tetapi juga sebagai alat kontrol yang transparan bagi masyarakat sehingga keresahan yang sebagaian diakibatkan oleh kebutaan tentang proses dan besarnya ganti rugi dapat teredusir.
Selengkapnya..

Mengapa ada Tanah Bersertifikat yang tidak diketahui Letaknya?


Seseorang pernah menunjukkan kepada saya sertifikat atas tanah warisan yang tidak diketahui letaknya. Mendiang orang tuanya tidak sempat bercerita tentang tanah yang dimilikinya kepada anak-anaknya. Mencoba mencari tahu dengan datang ke Kantor Pertanahan setempat jawaban yang diperolehnya juga tidak memuaskan. Sambil menggaruk-garukkan kepalanya dia bertanya: "Bukankah setiap tanah yang akan diberikan sertifikatnya telah melalui proses pengukuran dan perpetaan sebagaimana diatur dalam UUPA?"

Sebelum kita menjawab pertanyaan yang menggelitik tersebut sebaiknya kita cermati bahwa peran pemerintah dalam pendaftaran tanah sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang Pokok Agraria pasal 19 meliputi tiga hal yaitu:
a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Kegiatan diatas telah dimulai sejak tahun 1960 atau hampir 50 tahun. Sudah lebih dari 30 juta bidang tanah terdaftar di Indonesia. Tentu saja proses sertifikasi atau pendaftaran tanah tersebut telah melalui ketiga hal sebagaimana dimaksud diatas. Diharapkan bidang tanah yang telah melalui proses pendaftaran tanah dapat memiliki kepastian hukum baik mengenai fisik bidang tanahnya maupun yuridis kepemilikannya.

Secara sederhana, setiap kegiatan pengukuran dan pemetaan bidang tanah diharapkan menghasilkan dua output utama yaitu:
a. Dimensi/bentuk dari bidang tanah serta luasnya; dan
b. Posisi bidang tanah di permukaan bumi
Dalam menghasilkan output pertama diatas, kegiatannya relatif lebih mudah. Pengukuran difokuskan pada pengukuran panjang dan lebar bidang tanah. Untuk bidang tanah dengan bentuk yang lebih tidak teratur tentu saja memerlukan teknik yang lebih rumit. Seorang pelajar SMU secara sederahana dapat melakukan pengukuran panjang dan lebar sebuah meja makan dan menggambarkannya diatas secarik kertas. Seseorang yang membaca gambar tersebut dapat dengan mudah mengetahui bentuk dan ukuran dari meja tersebut. Itu adalah bagian pertama dari pengukuran dan pemetaan.

Seseorang yang membaca gambar tersebut dapat dengan mudah mengetahui bentuk dan ukuran dari meja tersebut. Itu adalah bagian pertama dari pengukuran dan pemetaan.
Bagian Kedua adalah untuk mengetahui dimana posisi meja tersebut di dalam suatu ruangan. Apakah di sudut ruangan atau di tengah ruangan atau dibagian lain dari ruangan tersebut. Hal inilah yang disebut dengan menentukan posisi atau letak dari sebuah obyek.
Dalam melakukan kegiatan tersebut perlu sarana yang disebut dengan peta. Peta menggambarkan denah secara rinci tentang ruangan tersebut. Dimana letak kursi dan benda-benda lain. Jika peta telah tersedia, pelajar SMU tadi dapat dengan mudah meletakkan posisi meja tersebut pada ruangan yang telah dipetakan.
Sayang sekali pada proses pendaftaran tanah atau sertifikasi kegiatan kedua kadang tidak dapat dilakukan karena ketidak tersediaan peta. Jumlah peta yang ada di Indonesia hingga saat ini sangat terbatas. Oleh karena itu banyak sekali gambar meja-meja atau bidang tanah yang tidak diketahui lokasi letaknya.
Hal diatas adalah penyebab utama mengapa tanah yang telah bersertifikat kadan tidak dapat dipetakan.

Bagaimana dengan sertifikat tanah yang tumpang tindih?

bersambung
Selengkapnya..

Minggu, 09 November 2008

Informasi Pasar Tanah (Land Market)

Pasar selain tempat bertemunya pelaku transaksi juga memiliki fungsi utama lain yaitu sebagai tempat diperolehnya informasi tentang aktifitas pasar tersebut. Dalam pasar tanah informasi aktifitas dapat dilihat dari tiga elemen utama yaitu (1) Data yang menunjukkan waktu terjadinya transaksi; (2) Data kuantitatif yang menjelaskan nilai/harga transaksi yang terjadi; (3) Data deskriptif mengenai obyek transaksi.

Berangkat dari ketergantungan makhluk hidup yang sangat tinggi terhadap tanah, tidak mengherankan jika manusia memberikan nilai yang kadang tak terhingga untuk tanah. Nilai tersebut dapat bersumber dari penghargaan terhadap fungsi tanah, kandungan material yang ada di dalamnya, ataupun hal-hal lain yang bersifat abstrak seperti keindahan. Atas dasar nilai-nilai itulah, manusia melakukan pertukaran tanah dengan benda-benda atau jasa yang juga setara nilainya. Dalam perkembangannya, tanah pun mulai diperlakukan sebagai komoditas, yaitu sesuatu yang dibutuhkan dan dapat disuplai ketersediaannya di suatu arena yang disebut pasar.

Sebagai bagian dari perekonomian, pasar tanah memiliki kontribusi yang cukup besar sebagai penggerak perekonomian. Pertumbuhan perekonomian seringkali direfleksikan oleh pembangunan real estate, apartemen, gedung, pusat perbelanjaan yang nota bene adalah peningkatan pemanfaatan atas tanah. Pembangunan pertanahan yang pesat di suatu tempat meningkat merupakan indikator pergerakan perekonomian.

Pasar selain tempat bertemunya pelaku transaksi juga memiliki fungsi utama lain yaitu sebagai tempat diperolehnya informasi tentang aktifitas pasar tersebut. Dalam pasar tanah informasi aktifitas dapat dilihat dari tiga elemen utama yaitu (1) Data yang menunjukkan waktu terjadinya transaksi; (2) Data kuantitatif yang menjelaskan nilai/harga transaksi yang terjadi; (3) Data deskriptif mengenai obyek transaksi.

Penjelasan tentang ketiga data tersebut adalah sebagai berikut :

(1) Data yang menunjukkan waktu terjadinya transaksi

Terdapat dua jenis data yang menunjukkan waktu terjadinya transaksi. Yang pertama adalah saat terjadinya peralihan hak adalah saat dibuatnya atau ditandatanganinya akte jual-beli oleh pihak-pihak yang berkepentingan terhadap transaksi tersebut. Banyak pakar hukum berpendapat bahwa tanggal inilah yang digunakan dalam menentukan saat beralihnya kepemilikan/hak atas tanah.

Data tanggal transaksi lain adalah tanggal pendaftaran peralihan hak, yaitu tanggal pada saat sebuah sertifikat atas tanah, dicatatkan pendaftaran peralihannya di Kantor Pertanahan. Masih banyak perdebatan di kalangan ahli hukum apakah tanggal pendaftaran dapat dikategorikan sebagai tanggal transaksi. Namun, jika dilihat berdasarkan konsep data publik, pada saat pembuatan akte, masyarakat belum mengetahui secara luas tentang transaksi tersebut.

Sedangkan jika sebuah peralihan hak telah didaftarkan, maka data tersebut sudah menjadi daftar umum yang terbuka untuk masyarakat. Berdasarkan hal itulah, sebaiknya informasi tanggal tanggal pendaftaran juga disajikan untuk keperluan sistem informasi pasar tanah.

(2) Data Harga Transaksi

Data harga transaksi dapat disediakan secara langsung dari arsip pendaftaran tanah yang ada. Yaitu dengan mengutip harga yang dilaporkan pada akte jual beli (reported price).
Idealnya harga transaksi yang digunakan dalam sistem informasi pasar tanah adalah harga pasar tanah. Harga Pasar tanah adalah sejumlah uang yang disepakati oleh penjual dan pembeli untuk membayar harga komoditi yang ditransaksikan. Pertanyaan berikutnya adalah apakah harga pada akte mencerminkan harga pasar tanah?

Terdapat kekhawatiran bahwa kebutuhan diatas tidak dapat terpenuhi. Hal ini disebabkan adanya sinyalemen tentang perbedaaan antara harga transaksi yang tercantum pada akta jual beli dengan harga transaksi yang sebenarnya. Kondisi ini disebabkan oleh lemahnya sistem pajak yang berlaku saat ini, yang memungkinkan penjual dan pembeli untuk melaporkan harga lebih rendah dari yang sebenarnya. Hal ini bertujuan untuk menghindari pembayaran pajak yang tinggi. Dengan demikian, dapat diduga bahwa sebagian besar harga akte yang dilaporkan adalah under-valued.

Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah dilakukan survei harga pasar. Survei dilakukan secara langsung terhadap pihak-pihak yang bertransaksi. Namun demikian kegiatan ini membutuhkan biaya dan tenaga yang sangat besar. Di samping itu kesediaan pihak yang bertransaksi untuk secara jujur menyampaikan harga transaksi sebenarnya dalam survei juga diragukan. Kekhawatiran mereka terhadap tuduhan penggelapan pajak perlu dipertimbangkan. Oleh karena itu survei terhadap seluruh transaksi yang ada saat ini belum efisien untuk dilaksanakan.

Namun demikian bukan berarti data harga transaksi (reported price) yang ada tidak dapat dimanfaatkan. Hal ini disiasati dengan penambahan beberapa data komplemen berupa pelaku transaksi. Data komplemen kedua adalah nama penjual dan pembeli. Umumnya, jika pelaku transaksi adalah suatu badan usaha atau badan hukum maka dimungkinkan untuk memperoleh harga pasar dari reported price. Hal ini dikarenakan sistem audit keuangan di badan usaha atau badan hukum yang cukup baik.

(3) Data Obyek Transaksi

Data ini dapat menjelaskan secara gamblang karakteristik bidang tanah yang bersangkutan. Karakteristik yang dimaksud meliputi jenis hak, luas tanah, dan lokasi bidang tanah yang dapat mempengaruhi harga transaksi. Dengan demikian, para pengguna bisa memperoleh gambaran umum mengenai bidang tanah yang ditransaksikan dan relasinya terhadap harga transaksi.
Kendala yang dihadapi saat ini adalah tidak semua data yang dalam sistem pendaftaran tanah, dapat diketahui lokasinya secara pasti. Ketidakjelasan sistem alamat pos di negara kita merupakan satu masalah. Masalah lain masih dijumpai sejumlah bidang tanah yang tidak disurvei dengan benar sehingga tidak dapat ditelusuri lokasinya.

Penutup

Kebutuhan masyarakat terhadap informasi pasar tanah saat ini semakin tinggi. Informasi pasar tanah yang baik sekurangnya memiliki ketiga jenis data diatas. Kabar baiknya, ketiga jenis data pasar tanah diatas merupakan data yang saat ini dimiliki oleh negara ini melalui sistem pendaftaran tanahnya. Untuk itu merupakan langkah yang tepat jika data yang ada segera dikelola untuk memberikan publik suatu informasi pasar tanah.


Selengkapnya..

Jenis Hak atas Tanah


Secara mudah jenis hak atas tanah di dunia ini terbagi menjadi dua bagian yaitu
a. hak milik; dan
b. hak sewa atau hak penggunaan atas tanah orang lain.

Hak milik atau di negara lain dikenal dengan nama freehold atau feesimple merupakan hak atas tanah yang bersifat (hampir) absolut. Jangka waktu kepemilikannya tidak terbatas. Pemegang hak milik pun memiliki kebebasan dalam menggunakan dan memetik hasil dari tanahnya sepanjang tidak diatur oleh peraturan perundangan lain.


Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pasal 20 dikatakan Hak Milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan yang mengatur bahwa tanah memiliki fungsi sosial. Hal ini menunjukkan bahwa hak milik merupakan hak atas tanah yang memiliki jangka waktu dan penggunaan yang tidak terbatas sepanjang tidak bertentangan dengan fungsi sosial tanah.

Hak sewa atau leasehold adalah hak menggunakan tanah yang bukan miliknya. Kepemilikan tanah tersebut bisa dipunyai oleh Negara ataupun orang per orang. Sesuai dengan namanya, hak sewa memiliki jangka waktu dan penggunaan yang terbatas. Lama jangka waktu dan jenis penggunaan yang diijinkan tergantung dari perjanjian antara pemegang hak sewa dengan yang memiliki tanah.

Karena baik jangka waktu dan jenis penggunaan ditentukan oleh perjanjian sewa tersebut maka Hak Sewa memiliki bentuk yang beragam. Jangka waktu hak sewa atau leasehold berbeda-beda di satu negara dengan negara lain. Di Indonesia jangka waktu terlama yang dapat diberikan berkisar antara 20 hingga 35 tahun. Di negara lain bisa mencakup hingga 99 tahun.

Jenis Hak sewa ini pun dapat dibedakan dari bentuk penggunaan atau pemanfaatan tanah. Di Indonesia seperti diatur dalam UUPA terdapat beberapa hak yang termasuk dalam golongan ini yaitu:
a. hak guna-usaha,
b. hak guna-bangunan,
c. hak pakai,
d. hak sewa (untuk bangunan),
e hak membuka tanah,
f. hak memungut-hasil hutan,
Selengkapnya..