Senin, 17 November 2008

Standar Penilaian Tanah Untuk Pemberian Ganti Rugi: Sarana untuk mempercepat pengadaan tanah melalui penilaian ganti rugi yang lebih adil dan transpar


1 Current Practice

1.1 Pemberian ganti rugi bagi kepentingan umum seringkali menjadi masalah berlarut-larut sehingga menyebabkan tertundanya pembangunan. Dapat dibayangkan besarnya kerugian dari pemerintah maupun masyarakat akibat bertahun-tahun tertundanya Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta yang menghubungkan Jalan Tol Jagorawi dan Jalan Tol Jakarta-Cikampek. Berapa pula kerugian yang diderita masyarakat akibat banjir yang melanda sebagian wilayah Jakarta karena pembangunan Banjir Kanal Timur hingga saat ini belum dapat direalisasikan akibat pengadaan tanah yang tersendat. Pemberian ganti rugi yang dirasa tidak adil dan tidak memiliki standar yang baku setidaknya memberikan kontribusi bagi permasalahan diatas. Akibatnya muncul anekdot bahwa ganti rugi dalam pengadaan tanah adalah kompensasi yang menyebabkan pemilik tanah menderita kerugian akibat kompensasi yang diberikan lebih kecil dibanding kerugian ekonomis yang ditanggung oleh pemilik tanah.

1.2 Standar kita saat ini yang mengatur tentang penilaian tanah masih sangat minimal. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 jo 65 Tahun 2006 menegaskan bahwa ”Dasar perhitungan besarnya ganti rugi (atas nilai tanah) didasarkan atas Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh panitia; Tidak dijelaskan apakah nilai nyata/sebenarnya itu. Apakah itu nilai pasar? Bagaimana memperolehnya sehingga Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah dapat melaksanakan dengan standar yang sama juga tidak dijelaskan.

1.3 Namun demikian saat ini sudah diatur lebih lanjut pada Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2007 bahwa untuk menentukan nilai nyata/sebenarnya dapat berpedoman pada variabel-variabel seperti lokasi dan letak tanah, status tanah, peruntukan tanah, kesesuai penggnaan tanah dengan rencana tata ruang wilayah atau perencaan ruang wilayah atau kota yang telah ada; sarana dan prasarana yang tersedia dan faktor lainnya yang mempengaruhi harga tanah. Jika kita kaitkan variabel untuk menentukan nilai nyata/sebenarnya tersebut dengan teori yang ada, maka dapat disetarakan bahwa yang dimaksud dengan nilai nyata/sebenarnya adalah nilai pasar.

1.4 Diluar hal tersebut dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 jo 65 Tahun 2006 Pasal 1 butir 11 didefinisikan bahwa ganti rugiadalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan/atau nonfisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah. Ada dua hal yang menarik disini, yang pertama adalah diperkenalkan ganti rugi yang bersifat non-fisik. Namun sayangnya dalam penjelasan dan pasal-pasal berikutnya tidak di deskripsikan lebih lanjut mengenai ganti rugi non-fisik. Apakah ganti rugi non-fisik hanya meliputi kerugian yang bersifat ekonomi baik berupa biaya-biaya yang harus dikeluarkan dan kehilangan pendapatan dari pemilik tanah karena adanya pengadaan tanah? Ataukah juga meliputi kehilangan atau kerugian lain yang bersifat emosionil seperti hubungan sejarah atau hubungan kekeluargaan dengan tanah? Seberapa jauh ruang lingkup dari ganti rugi non-fisik dan seberapa besar ganti rugi yang diberikan harus diatur dalam standar yang jelas sehingga Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah dapat memiliki referensi yang sama dalam melakukan penilaian.

1.5 Hal yang kedua adalah statement bahwa ganti rugi seyogyanya dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkah kehidupan sosial ekonomi sebelumnya. Hal ini adalah statement yang mulia, bahkan lebih mulia dibanding statement negara-negara maju tentang konsep kompensasi. Di Swedia dalam Expropriation Act nya menjelaskan bahwa Prinsip utama pemberian kompensasi adalah posisi ekonomi yang sama dalam keadaan seolah-olah pengadaan tanah tidak pernah terjadi. Meskipun pada umumnya pada prakteknya pada saat negosiasi sering terjadi bahwa kompensasi yang diberikan sedikit lebih tinggi hal itu dikarenakan untuk menghindari waktu pengadaan yang lama dan menghindari biaya litigasi di pengadilan yang cukup tinggi. Bagaimana kelangsungan hidup yang lebih baik diterapkan dalam pemberian ganti rugi adalah tantangan yang harus dijawab, sekurang-kurangnya dalam sebuah standar penilaian ganti rugi.

1.6 Hal ini sekaligus untuk menjawab tuntutan dalam Peraturan Ka BPN 3/2007 yang baru terbit bahwa untuk menjadi Lembaga Penilai harga Tanah diperlukan lisensi oleh BPN. Dengan adanya standar penilaian yang baku dan transparan akan membuat Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang akan melaksanakan penilaian tanah tersebut dapat selalu menjaga keseragaman, keobyektifitasan dan kemandirian.

2 Telaahan

2.1 Penilaian Ganti Rugi Fisik

2.1.1 Nilai Fisik

2.1.1.1 Nilai fisik disini dalam ruang lingkup tulisan ini adalah Nilai dari fisik tanah. Kita mulai disini dengan membahas pasal 15 Perpres 65/2006 tentang definisi dari nilai nyata/sebenarnya. Apakah nilai nyata/sebenarnya itu? Nilai nyata/sebenarnya disini mungkin dimaksudkan sebagai harga yang nyata atau sebenarnya dari transaksi yang pernah terjadi terhadap bidang tanah yang terkena pengadaan tanah atau bidang tanah lain di sekitar bidang tanah tersebut.

2.1.1.2 Dalam banyak hal ini nilai nyata/sebenarnya itu dapat diduga dengan mudah sebagai nilai pasar. Nilai Pasar dalam Standar yang dikeluarkan baik oleh International Valuation Standar maupun Standar Penilaian Indonesia menyebutkan bahwa Nilai Pasar adalah estimasi sejumlah uang pada tanggal, yang dapat diperoleh dari transaksi jual beli atau penukaran suatu properti, antara pembeli yang berniat membeli dan penjual yang berniat menjual, dalam suatu transaksi bebas ikatan, yang pemasarannya dilakukan secara terbuka dan layak, dimana kedua belah pihak masing-masing bertindak atas dasar pemahaman yang dimilikinya, kehati-hatian, dan tanpa paksaan;

2.1.1.3 Didalam standar tersebut pula dijelaskan bahwa Nilai Pasar wajib menggunakan prinsip highest and best use. Dimana nilai pasar diturunkan dari penggunaan tertinggi dan terbaik dari sebidang tanah dengan memperhatikan 4 (empat) asas, yaitu: sebagai penggunaan yang dimungkinkan secara fisik, diijinkan secara hukum, layak secara finansial, dan menghasilkan pendapatan paling tinggi; Kempat hal tersebut dalam kondisi pasar yang transparan dan efisien akan direfleksikan di dalam nilai pasar yang diperoleh dari harga nyata/sebenarnya terhadap transaksi yang terjadi. Namun demikian perlu dicermati bahwa kondisi highest and best use setelah terjadinya pembangunan untuk kepentingan umum kemungkinan berbeda dibanding dengan kondisi sebelumnya. Dalam hal ini perlu adanya standar apakah perhitungan untuk memperoleh nilai pasar didasarkan pada kondisi highest and best use sebelum atau setelah pengadaan tanah.

2.1.1.4 Dalam beberapa pengalaman dari beberapa negara, terdapat kesamaan konsep utama dalam pemberian ganti rugi dalam pengadaan tanah. Konsep tersebut adalah setiap pihak yang terkena pengadaan tanah haruslah memiliki posisi ekonomi yang sama dengan sebelum terkena pengadaan tanah. Hal ini merupakan konsep yang cukup adil mengingat jika kondisi penggunaan setelahnya menjadi lebih buruk akan merugikan bagi penerima ganti rugi dan sebaliknya jika kondisi penggunaan setelahnya lebih baik pemerintah atau pemberi ganti rugi akan dirugikan. Jika konsep ini akan diterapkan, berarti penilaian tanah didasarkan atas kondisi seolah-olah tidak terjadi pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Atau dengan kata lain, penerapan highest and best use didasarkan pada kondisi sebelum ditetapkannya daerah tersebut sebagai daerah yang terkena pembangunan. Dengan ditetapkannya standar tersebut akan memudahkan bagi lembaga/tim penilai harga tanah dalam menentukan dasar yang digunakan dalam penilaian tanah.

2.1.2 Nilai Fisik yang terkena sebagian

2.1.2.1 Dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum sangat sering dijumpai bahwa tanah yang terkena oleh proyek pembangunan hanya merupakan sebagian dari bidang tanah yang bersangkutan. Akan tidak menjadi masalah jika pelaksana pembangunan memiliki dana yang cukup untuk mengadakan seluruh bagian dari sebidang tanah yang mungkin tidak diperlukan. Namun demikian faktanya adalah pelaksana pembangunan seringkali hanya memerlukan tanah yang diperlukan. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan tanah sisa akibat pengadaan tanah. Semua berharap bahwa tanah sisa tersebut masih optimal untuk digunakan sesuai dengan peruntukannya. Namun seringkali tanah sisa tersebut memiliki bentuk, akses, letak, luas dan hal lain yang menjadikan tanah tersebut tidak optimal untuk digunakan. Tentu saja keadaan tersebut akan berdampak dengan turunnya nilai pasar tanah sisa setelah pembangunan.

2.1.2.2 Untuk itu perlu diatur standar bagaimana melakukan penilaian ganti rugi terhadap tanah yang hanya terkena sebagian dalam pengadaan tanah. Dalam hal ini penilaian difokuskan pada berapa nilai kerugian yang diderita oleh pemilik tanah akibat penurunan kemampuan optimal penggunaan tanah sisa akibat terpotong oleh pengadaan tanah. Terdapat beberapa metoda dalam penilaian kerugian akibat tanah sisa tersebut, namun secara umum besarnya kerugian dapat diperoleh dengan mengurangkan nilai pasar tanah sisa sebelum pengadaan tanah dengan nilai pasar tanah dalam kondisi highest and best use setelah pembangunan. Jika hasil pengurangannya adalah bilangan positif berarti terdapat kerugian yang diderita oleh pemilik suatu bidang tanah.

2.1.2.3 Namun demikian terdapat permasalahan lain yang harus juga dijawab. Bagaimana jika nilai tanah sisa setelah pembangunan lebih tinggi dibanding nilai tanah sebelumnya? Dalam kasus ini pemilik tanah memperoleh keuntungan terhadap tanah sisa yang dimiliki akibat perubahan kondisi yang lebih baik. Apakah keuntungan ini harus dibayarkan oleh pemilik tanah baik dalam bentuk tunai ataupun dalam bentuk pengurangan terhadap nilai ganti rugi tanah yang terkena?
2.1.2.4 Di jurisdiksi yang memiliki konsep dimana setiap orang memiliki posisi ekonomi yang sama sebelum dan sesudah pengadaan tanah menetapkan bahwa keuntungan yang diterima pemilik tanah tersebut diperhitungkan dalam penilaian ganti rugi. Namun jika kita bermaksud untuk melaksanakan amanat Peraturan Presiden tentang pengadaan tanah untuk memberikan kehidupan yang lebih baik, maka perlu dibuat standar bahwa Pemerintah akan membayar ganti rugi yang diderita akibat penurunan nilai tanah sisa namun tidak akan memperhitungkan keuntungan yang diperoleh pemilik akibat kondisi lingkungan yang membaik akibat pembangunan.

2.2 Ganti Rugi Non-Fisik

2.2.1 Terdapat beberapa kerugian (selain juga keuntungan) yang ditimbulkan akibat pengadaan tanah. Kerugian tersebut bukan merupakan kerugian akibat nilai jual tanah tersebut. Kerugian yang dimaksud adalah kehilangan atas kenyamanan yang selama ini diperoleh dengan tinggal ataupun berusaha di atas tanah tersebut. Secara umum, kerugian tersebut dapat dibagi sebagai kerugian dari sisi finansial ataupun ekonomi maupun kerugian yang bersifat emosional.

2.2.2 Kerugian finansial dapat dilihat sebagai biaya yang harus dikeluarkan oleh pemilik tanah akibat keharusan untuk hengkang dari tempat yang ditinggalinya. Jika diasumsikan setiap pemilik tanah harus membeli tanah baru sebagai pengganti, dia harus mengeluarkan biaya dan bea dalam perolehannya. Sesuatu yang dia harus bayarkan untuk memperoleh tanah dengan nilai yang setara. Biaya dan bea perolehan yang besarnya sekitar 5% dari nilai tanah wajib diberikan sehingga pemilik tanah dapat memperoleh tanah pengganti yang setara nilainya. Ada langkah lain yang dapat ditempuh sebagai solusi tanpa memberikan ganti rugi yaitu dengan memberi kebebasan pajak pada pemilik tanah yang akan membeli tanah pengganti di kemudian hari.

2.2.3 Jumlah biaya yang seharusnya juga diperhitungkan dalam pemberian ganti rugi adalah biaya untuk mobilisasi dari tempat lama ke tempat baru. Hal ini ditambah lagi dengan biaya untuk hunian sementara menunggu tempat tinggal yang baru siap untuk dihuni. Biaya-biaya tersebut seharusnya diberikan sehingga pengorbanan untuk bersedia repot-repot pindah demi pembangunan umum tidak perlu ditambah dengan repot-repot merogoh kocek sendiri untuk keperluan biaya pindah dan hunian sementara. Selanjutnya yang perlu didiskusikan tersendiri adalah seberapa jauh biaya pindah yang memperoleh biaya kompensasi, demikian pula seberapa lama biaya sewa rumah yang akan menjadi kompensasi yang adil.

2.2.4 Diluar hal tersebut, kerugian finansial dapat pula dipandang sebagai hilangnya pendapatan akibat usahanya yang terhenti beberapa saat selama masa pemindahan ke tempat yang baru. Terdapat beberapa yang harus diputuskan dalam memberikan kerugian akibat kehilangan pendapatan.

2.2.5 Pertama, apakah pendapatan tersebut merupakan pendapatan yang tercatat. Karena kebanyakan usaha di Indonesia adalah usaha yang tidak tercatat jika dilakukan oleh non-perusahaan. Sebagai contoh adalah Warung tradisional dan pertanian padi. Keduanya, jika dilaksanakan oleh perorangan tidak ada yang memiliki pembukuan mengenai pendapatan. Secara formal akan sulit bagi penilai untuk menentukanbesarnya pendapatan jika tidak tercatat, sedangkan di satu sisi usaha perorangan seperti itu telah terbukti sebagai penopang roda perekonomian pada krisis moneter lalu.

2.2.6 Selanjutnya adalah apakah yang diberikan pendapatan kotor ataukah pendapatan bersih. Pemberian kompensasi sebaiknya berdasarkan pada pendapatan bersih mengingat bagi pemilik usaha tersebut kehilangan kenyamanannya adalah kehilangan pendapatan bersih setelah dikurangi biaya operasional. Jika disepakat, hal yang perlu ditetapkan adalah untuk berapa lama kompensasi kehilangan pendapatan bersih diberikan. Apakah suatu usaha yang dipindahkan ke tempat lain dapat pulih dalam 6 bulan atau 1 tahun atau bahkan 2 tahun? Penilai dapat menentukan besarnya pendapatan bersih dengan kompetensinya namun Pemerintah tetap harus menetapkan lamanya kehilangan pendapatan yang diberikan kompensasi sehingga penilai memiliki standar untuk keluar dengan nilai kompensasi.

3 Penutup

Besarnya pemberian ganti rugi yang selama ini disinyalir sebagai salah satu kontributor masalah dalam pengadaan tanah harus segera diakhiri. Salah satu upayanya adalah menetapkan suatu standar tentang kerugian apa saja yang diberikan kompensasi serta standar yang mengatur bagaimana pelaksanaannya. Standar tersebut diharapkan tidak hanya berfungsi sebagai refererensi bagi lembaga/tim penilai harga tanah dalam melaksanakan tugasnya secara independen, tetapi juga sebagai alat kontrol yang transparan bagi masyarakat sehingga keresahan yang sebagaian diakibatkan oleh kebutaan tentang proses dan besarnya ganti rugi dapat teredusir.

3 komentar:

SURVEYOR KADASTRAL mengatakan...

Beberapa hal perlu dicermati:
1. Istilah nilai nyata yang membingungkan ini harus segera diakhiri, dengan membuat edaran atau keputusan baru oleh kepala BPN agar ditegaskan menjadi nilai pasar. Dengan demikian, pendekatan yang tepat digunakan adalah perbandingan data pasar. Meskipun terkait tujuan, masih ada informasi yang asimetris, termasuk willing to buy dan willing to sale, maka sebaiknya ditetapkan saja batasan misalnya maks 1,5 kali harga pasar;
2. Batas validitas hasil penilaian. Umumnya rentang waktu antara laporan appraisal dengan waktu kesepakatan harga dan dengan waktu pembayaran UGR 'tidak terbatas', karena alasan kesiapan pendanaan dari investor maupun pemerintah. Kadang berselang 1-3 tahun. Padahal selama itu, nilai tanah sudah mengalami apresiasi/eskalasi. Untuk itu, agar dicapai win-win solution, mestinya ditegaskan bahwa hasil penilaian ini valid hanya untuk kurang dari 6 bulan. Jika pembayaran UGR ternyata baru dapat dilaksanakan lebih dari 6 bulan, maka harusnya P2T memerintahkan revaluasi harga tanah.
3. Masalah konsinyasi, pada kenyataannya masih sulit dilaksanakan karena masih ada kesan pemaksaan. Untuk itu, agar proses lebih singkat, ada baiknya range harga terendah dan tertinggi hasil penilaian appraiser INDEPENDEN diumumkan kepada masyarakat tanpa melalui musyawarah lagi. Setelah dikalikan dengan 1,5 harga wajar, jika ada yang tidak setuju, langsung melalui konsinyasi. Mengapa, pemrintah harus tahu bahwa harga tanah di Indonesia ini masih termasuk yang termurah di dunia.

Syafrizal Caniago mengatakan...

Sangat baik dan bermanfaat

Unknown mengatakan...

Rumah 10x9 full bangunan. 2 tingkat stengah. Bawah batu. Atas kayu. Ditengah kota palembang. Kena penggusuran kolam waduk retensi. Kira2 berapa harga standar pergantian pak? Tlong bagi info nya